Nasehat Kematian Umar Bin Abdul Aziz |
Fiqhislam.com
- Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz r.a mengiringi jenazah. Ketika
semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari
kubur jenazah tadi. Beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya“.
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?“.
Mereka menjawab, “Tentu”.
Umar berkata, “Kuburan
ini memanggilku dan berkata, ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah
kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?‘, “Tentu“, jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku
bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah
dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota
badannya?“.
“Tentu“, jawabku.
“Aku
cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke
lengan dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari
pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan
dari betis menuju telapak kakinya“.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,
Ketahuilah,
umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan.
Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati.
Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah
kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh
dunia. Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah
sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di
dalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan
kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi
Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan
begitu, dan banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh
tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat
binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu,
di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya.
Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang
memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu
dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat
tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari
kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari
kefakirannya?
Tanyalah
mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga
tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan.
Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh
yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya
pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah
keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun
tercabik-cabik.
Dimanakah
para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta
benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan
tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan
kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah. Bukankah kini
mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja
bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam
pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan
orang-orang tercinta.
Berapa
banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya
tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah.
Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu
anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya
sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari
tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka
dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta
bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara
mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan
bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab
dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.
Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai
yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu?
Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu dan dimana
dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi.
Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu
melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu
dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah
yang akan diturunkan oleh Rabbku?“.
Ia
menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan
setelah itu, ia meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah.
Oleh Mashadi
eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar