Kemuliaan Pembawa Hadits |
Fiqhislam.com - Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَضَّرَ
اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها
وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ
أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
“Semoga
Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits
dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia
memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya
(kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama
menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang
orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits yang shahih dan mutawatir).
Takhrij Hadits dan Derajatnya
Hadits
ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no.
2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu
Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 4890),
dan imam-imam lainnya.
Hadits
ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh
lebih dari dua puluh orang sahabat radhiyallahu ‘anhum dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang
banyak sekali[1].
Imam Shalahuddin al-’Ala’i berkata, “Hadits
ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar
sahabat radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Abdullah bin mas’ud, Jubair
bin muth’im, Zaid bin Tsabit, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id al-Khudri,
Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah,
Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah
dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum“[2].
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Hadist
ini sangat masyhur (dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab “as-Sunan”
atau dalam sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud, Zaid bin
Tsabit dan Jubair bin muth’im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu
Hibban dan al-Hakim. Dan (imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam
kitabnya “at-Tadzkirah” bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh dua puluh empat orang sahabat
radhiyallahu ‘anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat
tersebut…”[3].
Bahkan
imam as-Suyuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (2/179) menyebutkan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam Ahlul hadits, di antaranya: imam Abdurrahman bin Abi Hatim[4], Ibnu Hibban[5], al-Mundziri[6], al-’Ala’i[7], Ibnul Qayyim[8], al-Bushiri dan syaikh al-Albani[9].
Syarah Hadits
Hadits
yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan orang yang
mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau kepada umat
manusia. Sampai-sampai imam Ibnul Qayyim ketika mengomentari hadits ini,
beliau berkata, “Seandainya tidak
ada keutamaan mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini,
maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi orang yang
mendengar ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain)”[10].
Semakna dengan ucapan di atas, Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Hadits
ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamshallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali
(hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu
sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta
bagian dan keutamaan (yang besar)
mengkhususkan / mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak
ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan)
tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari,
menghafal dan menyampaikan hadits (Rasulullah ”[11].
Doa
kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang
mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada umat ini adalah sebagai al-Jaza’u min jinsil ‘amal
(balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah
mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia,
yang dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi putih
berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam
firman Allah Ta’ala,
{يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا
كُنْتُمْ تَكْفُرُون. وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي
رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون}
“Pada
hari yang (di waktu itu) ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka
yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada
mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman, karena itu
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang
putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga);
mereka kekal di dalamnya” (QS Ali ‘Imraan: 106-107)[12].
Dan
sungguh doa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini benar-benar terbukti secara nyata pada diri orang-orang yang
diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk mempelajari dan mendakwahkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sungguh-sungguh
dan disertai dengan keikhlasan serta mengharapkan balasan pahala dari
Allah Ta’ala[13].
Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Ada yang mengatakan: Sungguh Allah telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(tersebut). Oleh karena itu, kamu dapati para (ulama) ahli hadits
adalah orang yang paling bagus (elok) wajahnya dan indah penampilannya.
Diriwayatkan dari imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa beliau berkata: “Tidak ada seorang pun yang menuntut (ilmu) hadits kecuali (terlihat) pada wajahnya kecerahan”[14], yaitu: keindahan yang tampak atau (yang bersifat) maknawi (tidak tampak)” [15].
Hal
ini tidaklah mengherankan, karena secara umum Allah Ta’ala menjadikan
perbuatan baik dan amalan shaleh sebagai sebab yang menjadikan kebaikan
dan keindahan lahir dan batin pada diri orang yang mengamalkannya,
terlebih lagi pada diri orang-orang yang membawa petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber kebaikan dalam agama
ini.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya
(amal) kebaikan itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati,
kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan
kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk
(maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati,
kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezki dan
kebencian di hati manusia”[16].
Oleh karena itu, imam Ibnul Qayyim berkata, “Doa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini (keindahan rupa)
mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata)
an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang
bersumber) dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan,
kesenangan dan kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan
tersebut, sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan
tampak (nyata) berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah
Ta’ala mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan
keceriaan (pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana dalam firman-Nya,
{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورً}
“Maka
Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan
kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam
hati mereka)” (QS al-Insaan: 11).
Maka
kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan/kebahagiaan
(ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan
(dalam) hati akan menampakkan (pegaruh baik berupa) kecerahan pada
wajah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (tentang keadaan penduduk surga),
{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan” (QS al- Muthaffifiin:24).
Kesimpulannya,
kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan
menyampaikannya (kepada orang lain), ini adalah pengaruh kemanisan
(iman), dan kesenangan serta kebahagiaan (yang dirasakannya) di dalam
hati”[17].
Keterangan
di atas menunjukkan keutamaan yang agung dari mempelajari dan memahami
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membersihkan
penyakit hati dan kotoran jiwa manusia, yang itu semua merupakan
penghalang utama untuk mencapai kemanisan iman dan kebahagiaan hati.
Oleh
sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganalogikan
petunjuk dan ilmu yang beliau bawa dengan air hujan yang Allah Ta’ala
turunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan bagi tanah yang tandus dan
bagi makhluk hidup. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…“
“Sesungguhnya
perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah Ta’ala wahyukan kepadaku
adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“([18]).
Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallamTa’ala) seperti air hujan (yang baik) yang
merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu
jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru)
bagi negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu
agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…”[19]. membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah
bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan
tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka
(pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu
adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk
al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[20].
Maraatib (Tingakatan/Tahapan) dalam Menuntut Ilmu Agama
Dalam
hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengisyaratkan tentang maraatib (tingakatan/tahapan) yang harus ditempuh
dalam menuntut ilmu agama, agar ilmu yang dipelajari benar-benar dapat
dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi orang yang mempelajarinya.
Tahapan-tahapan ilmu tersebut adalah:
1- Mendengarkan/menyimak
ilmu dari sumbernya, sumber ilmu yang utama adalah al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam hal ini
membaca dan menelaah kitab-kitab ilmu agama yang bersumber dari wahyu
Allah Ta’ala tersebut.
2- Berusaha memahami dan meresapi kandungan maknanya, agar ilmu itu benar-benar menetap dalam hati dan tidak hilang.
3- Berusaha menjaga dan menghafalnya, agar tidak dilupakan.
4- Menyebarkan
dan menyampaikannya kepada umat, supaya kebaikan dan petunjuk Allah
Ta’ala tersebar dan diamalkan dalam kehidupan manusia, karena ilmu agama
itu ibaratnya seperti perbendaharaan harta yang terpendam dalam tanah,
kalau tidak segera dikeluarkan maka harta itu terancam akan musnah[21].
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyampaikan
sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat
lebih utama daripada menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher
musuh (berperang melawan musuh-musuh Islam). Karena menyampaikan
(melontarkan) anak panah ke leher musuh mampu dilakukan oleh mayoritas
manusia, adapun menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (kepada umat) hanyalah bisa dilakukan oleh waratsatul
Anbiya’ (orang-orang yang mewarisi ilmu para Nabi ‘alaihimus salam
dengan tekun mempelajarinya) dan orang-orang yang menggantikan (tugas)
mereka (dalam mempelajari, memahami dan menyebarkan petunjuk Allah
Ta’ala) di umat-umat mereka. Semoga Allah Ta’ala[22]. menjadikan kita termasuk (golongan) mereka, dengan anugerah dan kemurahan-Nya”
Kemudian, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hadits ini, “…Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya…”, ini menunjukkan salah satu manfaat besar dari menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (di akhir hadits) ini
merupakan peringatan akan pentingnya menyampaikan (petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat). Karena terkadang orang yang
disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya,
sehingga orang tersebut mendapatkan (manfaat besar) dari hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang disampaikan kepadanya)
melebihi yang didapatkan si penyampai. Atau (bisa juga) diartikan bahwa
orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang
menyampaikannya, maka ketika dia mendengarkan hadits tersebut, dia akan
mengartikannya dengan sebaik-baik kandungan makna, menarik kesimpulan
(hukum-hukum) fikh, dan memahami kandungan (yang benar) dari hadits
tersebut”[23].
Fawa’id Hadits
1-
Besarnya perhatian dan semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memberikan bimbingan kebaikan kepada umatnya, untuk
kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu sendiri, berat
terasa olehnya apa-apa yang menyusahkanmu, sangat menginginkan (petunjuk
dan kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mu’min” (QS at-Taubah:128).
2-
Peringatan untuk memberikan perhatian besar dalam mempelajari hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah (yang
berhubungan dengan periwayatan/perawi dalam sanad hadits) maupun dirayah
(makna dan kandungan hadits).
3-
Keutamaan menekuni ilmu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendokan kebaikan bagi
orang-orang yang menekuninya.
4- Anjuran untuk menyebarkan dan mendakwahkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
5- Agungnya kemuliaan dan keutamaan para ulama ahli Hadits.
6- Anjuran untuk menjaga dan menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia adalah sesuai dengan jenis perbuatan mereka).
8-
Keutamaan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
merekalah orang yang paling pertama dan sungguh-sungguh dalam
mendengarkan, memahami dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umat ini, maka merekalah yang paling berhak
untuk mendapatkan kemuliaan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini.
9-
“Barangsiapa yang mengajak (manusia) untuk (melakukan) kebaikan, maka
dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang melakukannya”[24].
10-
Mendoakan kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan rupa bagi orang
yang mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
11- Larangan menyembunyikan ilmu dan petunjuk kebaikan.
12-
Hadits ahad (hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya
sedikit) adalah dalil dan hujjah (argumentasi) yang wajib diamalkan
kandungannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ini tidak mensyaratkan jumlah yang banyak bagi orang yang
mendengar dan menyampaikan hadits-hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
13-
Kebaikan manusia lahir dan batin hanyalah dicapai dengan memahami dan
mengamalkan petunjuk Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
14-
Fungsi utama petunjuk yang dibawa oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai pembersih penyakit hati dan kotoran jiwa manusia.
15-
Mempelajari, memahami, menghafal dan menyampaikan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk sebab utama terjaganya
kemurnian sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini
termasuk makna firman Allah Ta’ala,
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an[25], dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS al-Hijr:9).
16- Keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama.
17- Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih adalah sumber pengambilan hukum-hukum fikh.
18- Keutamaan menggabungkan antara menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memahami kandungan maknanya[26].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar