Fiqhislam.com
- Kata ‘cinta’ hampir bisa ditulis dan di ucapkan oleh seluruh manusia,
tanpa kecuali. Itulah keajaiban dan kedahsyatan cinta. Namun, yang
paling penting adalah bagaimana cinta yang sejati dan sesungguhnya dapat
kita miliki?
Tentunya, cinta yang dimaksud adalah kasih sayang Allah ‘azza wajalla
yang diraih melalui multikreativitas atau amal nyata hamba- Nya.
Imam Ibn Al-Qoyyim Rahimahullâh, dalam Kitab al-Irsyâd ilâ shahîh al-i’- tiqâd wa al-radd ‘alâ ahl alsyirk wa al-ilhâd:
Bimbingan kepada keyakinan yang benar dan menolak pelaku syirik dan
pembangkang, halaman 63, mengungkap sejumlah syarat yang sejatinya kita
miliki agar Allah mencintai kita.
|
|
|
| Pertama,
membaca Alquran, mentadabburi dan memahami makna yang terkandung di
dalamnya serta maksud dari yang dibaca. Salah satu contohnya, seorang
pemimpin pada semua tingkat dan waktu, sejatinya bertanggung jawab atas
jabatan yang diamanahkan kepadanya.
Dia juga tidak membebani masyarakat, tidak membiarkan kejahatan terus
berkembang, tidak menjualbelikan atau menggadaikan masyarakat
dhuafahanya karena untuk mendapatkan subsidi padahal hanya tipu
muslihat, dan sejenisnya.
Jangan sampai masyarakat jelata, dibebani utang dan keharusan
membayarnya. Padahal, yang menyebabkan negara banyak utang dan kolapnya
perekonomian bangsa karena ulah para penguasa yang hakikatnya tidak
bertauhid kepada Allah ‘azza wajalla. Dan penjahat yang rakus dan tidak
menyadari atas tindakan kejahatannya ser ta para hakim yang sa lah dalam
memutus perkara. |
|
|
|
|
|
|
|
| Kedua,
mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla dengan cara melaksanakan
yang nawâfil selain yang mesti dilakukan alias yang fardhu. |
|
|
|
|
|
|
|
| Ketiga,
meninggalkan semua jenis kesibukan yang dapat memisahkan keterikatan
hati dengan Allah ‘azza wajalla. Kesibukan yang dimaksud adalah
kemaksiatan lisan, hati, dan tindakan.
Kemaksiatan lisan di antaranya berbohong. Seperti korupsi, tapi mengaku
tidak korupsi; melakukan kejahatan birokrasi, mengaku tidak
melakukannya dan lainnya.
Kemaksiatan hati di antaranya, “mengucapkan bahwa Allah Maha Besar,
padahal hatinya mengakui bahwa berlaku curang yang maha besar”.
Kemaksiatan kinerja atau amalnya di antaranya, “seharusnya melindungi,
me ngayomi, dan memberdayakan fakir miskin dan masyarakat yang
terlantar, kenyataannya menyejahterakan masyarakat kuat”. |
|
|
|
|
|
|
|
| Keempat,
agar ketiga syarat tersebut dapat terpenuhi, maka kita dituntut selalu
mengingat Allah ‘azza wajalla dengan cara mentaati petunjuk-petunjuk Nya
dan menebar cinta Allah ‘azza wajalla yang dianugerahkan kepada kita,
sehingga dinikmati sesama makhluk lainnya.
Selain itu, mengambil pesan moral dari setiap nama Allah ‘azza wajalla,
bercengkeraman dengan Allah ‘azza wajalla di waktu Nuzul-Nya yakni pada
sepertiga malam terakhir dengan cara membaca Alquran yang diiringi
permohonan ampun dan bertaubat dari segala nista dan nestapa, dan yang
terakhir senang bergaul dengan ahli kebaikan dan perdamaian atas dasar
cintanya kepada Allah ‘azza wajalla. |
|
|
|
|
Semoga
Allah ‘azza wajalla menjadikan kita makhluk yang berpredikat sebagai
hamba yang taat kepada-Nya dengan meng ikuti uswah hasanah Rasulullah
SAW. Baik kita sebagai petani, jurnalis, karyawan, pengusaha, seniman,
budayawan, pendidik, terdidik, masyarakat jelata, maupun sebagai
penguasa, âmîn. Hasbunallôohu Wani’mal Wakîl. Walillâhil Hamd. Sampaikan!
Oleh Badrudin MAg
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar