Meraih Ampunan Allâh Al-Ghafûr
di Bulan Ramadhân
Di antara nama Allâh Ta'âla adalah al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun), dan di antara sifat-sifat-Nya adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat membutuhkan ampunan Allâh Ta'âla dari dosa-dosa mereka, dan mereka rentan terjerumus dalam kubangan dosa.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allâh akan melenyapkan kalian,
dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa,
lalu mereka akan memohon ampun kepada Allâh,
lalu Dia akan mengampuni mereka.
(HR. Muslim, no. 2749)
Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti terjadi. Allâh Ta'âla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurûr (terperdaya dengan amalan pribadi) dan kesombongan.
Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhân, karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhân juga merupakan bulan kesabaran yang pahalanya adalah surga.
Allâh Ta'âla berfirman:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala tanpa batas.
(Qs az-Zumar/39:10)
Puasa adalah perisai dan penghalang dari dosa dan kemaksiatan serta pelindung dari neraka. Dalam hadits shahîh dijelaskan:
Sesungguhnya Nabi mengucapkan amîn sebanyak tiga kali tatkala Jibril berdoa.
Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasûlullâh! Engkau telah mengucapkan amîn”.
Beliau menjawab: “Jibril telah mendatangiku, kemudian ia berkata:
“Celakalah orang yang menjumpai Ramadhân lalu tidak diampuni”.
Maka aku menjawab: “Amîn”.
Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata:
“Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya
lalu tidak mengucapkan salawat kepadamu”.
Maka aku menjawab: “Amîn”.
Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata:
“Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya,
lalu mereka tidak memasukkannya ke dalam surga”.
Maka aku jawab: “Amîn”.[1]
Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan ampunan dosa, akan berbahagia dengan adanya amalan-amalan shalih agar Allâh Ta'âla menghapuskan dosa dan perbuatan jeleknya, karena kebaikan bisa menghapus kejelekan. Sebab-sebab ampunan yang disyariatkan itu di antaranya:
1. TAUHID
Inilah sebab teragung. Siapa yang tidak bertauhid, maka kehilangan ampunan dan siapa yang memilikinya maka telah memiliki sebab ampunan yang paling agung.
Allâh Ta'âla berfirman:
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
(Qs an-Nisâ‘/4:48)
Siapa saja yang membawa dosa sepenuh bumi bersama tauhid, maka Allâh Ta'âla akan memberikan ampunan sepenuh bumi kepadanya. Namun, hal ini berhubungan erat dengan kehendak Allâh Ta'âla. Apabila Dia Ta'ala berkehendak, akan mengampuni. Dan bisa saja, Dia Ta'ala berkehendak untuk menyiksanya. Siapa yang merealisasikan kalimatut tauhîd di hatinya, maka kalimatut tauhîd tersebut akan mengusir kecintaan dan pengagungan kepada selain Allâh Ta'âla dari hatinya. Ketika itulah dosa dan kesalahan dihapus secara keseluruhan, walaupun sebanyak buih di lautan.
‘Abdullâh bin ‘Amr radhiyallâhu'anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allâh akan menyendirikan seorang dari umatku
(untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat.
Lalu Allâh menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran (catatan amal) miliknya.
Setiap lembaran seperti sejauh mata memandang.
Kemudian Allâh berfirman:
“Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”.
Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”.
Lalu Allâh berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?”
Ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”.
Lalu Allâh berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi Kami,
tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”.
Lalu dikeluarkan satu kartu berisi syahadatain.
Kemudian Allâh berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!”
Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?”
Maka Allâh berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan
dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain.
Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat.
Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allâh”.[2]
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits Qudsi menyatakan:
Allâh berfirman:
"Wahai anak keturunan Adam, seandainya kamu membawa dosa sepenuh bumi
kemudian kamu menjumpai-Ku
dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku (tidak berbuat syirik)
tentu saja Aku akan membawakan untukmu sepenuh bumi ampunan.
(HR Muslim)
Ini adalah keutamaan dan kemurahan dari Allâh Ta'âla dengan pengampunan seluruh dosa yang ada pada lembaran-lembaran tersebut dengan kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid adalah kalimat ikhlas yang menyelamatkan pemiliknya dari adzab. Allâh Ta'âla menganugerahinya surga dan menghapus dosa-dosa yang seandainya memenuhi bumi; namun hamba tersebut telah mewujudkan tauhid, maka Allâh Ta'âla menggantikannya dengan ampunan.
2. DOA DENGAN PENGHARAPAN
Allâh Ta'âla memerintahkan berdoa dan berjanji akan mengabulkannya.
Allâh Ta'âla berfirman:
Dan Rabbmu berfirman:
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.
(Qs Ghâfir/ 40:60)
Doa adalah ibadah. Doa akan dikabulkan apabila memenuhi kesempurnaan syarat dan bersih dari penghalang-penghalang. Kadangkala, pengabulan itu tertunda, karena sebagian syarat tidak terpenuhi atau adanya sebagian penghalangnya.
Di antara syarat dan adab terkabulnya doa adalah kekhusyukan hati, mengharapkan ijâbah dari Allâh Ta'âla , sungguh-sungguh dalam meminta, tidak menyatakan insya Allâh (Ya Allâh Ta'âla, kabulkanlah permintaanku bila Engkau menghendakinya-red), tidak tergesa-gesa mengharap pengabulan, memilih waktu-waktu dan keadaan yang mulia, mengulang-ulang doa tiga kali dan memulainya dengan pujian kepada Allâh Ta'âla dan shalawat, berusaha memilih makanan dan minuman yang halal dan lain-lain. Di antara permohonan terpenting yang dipanjatkan seorang hamba kepada Rabb-nya yaitu permohonan agar dosa-dosanya diampuni atau pengaruh dari pengampunan dosa seperti diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepada seseorang yang berujar: “Saya tidak mengetahui do'amu dengan perlahan yang juga dilakukan Mu’âdz.”
Permohonan kami di seputar itu. [3]
Maksudnya doa kami itu berkisar pada permohonan agar dimasukkan surga dan diselamatkan dari neraka.
Abu Muslim al-Khaulâni rahimahullâh mengatakan:
“Tidaklah datang kesempatan berdoa kepadaku,
kecuali saya jadikan doa itu permohonan agar dilindungi dari api neraka.”
3. ISTIGHFÂR (MEMOHON AMPUNAN)
Permohonan ampun ini merupakan pelindung dari adzab, penjaga dari setan, penghalang dari dari kegelisahan, kefakiran dan penderitaan, pengaman dari masa paceklik dan dosa; meskipun dosa-dosa seseorang telah menggunung sampai menyentuh langit.
Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda bahwa Allâh Ta'âla berfirman :
“Wahai bani Adam,
sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku,
maka Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu
dan Aku tidak akan peduli;
Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit,
kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku,
Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli;
Wahai bani Adam,
seandainya engkau datang kepada-Ku
dengan membawa kesalahan seukuran bumi
kemudian engkau datang menjumpai-Ku
dalam keadaan tidak berbuat syirik
atau menyekutukanKu dengan apapun juga,
maka sungguh Aku akan datang kepadamu
dengan membawa ampunan seukuran bumi juga.
(HR. at-Tirmidzi)
Membaca istighfâr adalah penutup terbaik bagi berbagai amalan, umur, serta penutup majelis.
4. | BERPUASA DI SIANG HARI DAN SHALAT MALAM KARENA IMAN, MENGHARAPKAN BALASAN PAHALA DARI ALLAH TA'ALA, IKHLAS SERTA DALAM RANGKA TAAT KEPADA ALLAH TA'ALA |
Dia berpuasa bukan dengan niat mengikuti orang banyak, juga tidak untuk mendapatkan sanjungan orang, tidak untuk melestarikan adat atau supaya sehat; juga tidak berniat pamer serta tidak untuk mensukseskan urusan duaniawi. Dia juga tidak berniat untuk mendoakan keburukan yang tidak pantas buat seorang Muslim. Dia melaksanakan ibadah puasa terdorong oleh niat beriman kepada Allâh Ta'âla, merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan mengharapkan pahala dari Allâh Ta'âla.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala,
maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.
(al-Bukhâri dan Muslim)
Alangkah luar biasanya seorang yang melaksanakan ibadah puasa lalu keluar dari ibadahnya dalam keadaan sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibundanya, yaitu tidak menanggung dosa dan berhati suci.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allâh mewajibkan puasa Ramadhân
dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya.
Maka barangsiapa melaksanakan ibadah puasa
dan shalat malamnya karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala,
niscaya dia keluar dari dosa-dosanya
sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibundanya."[4]
Dengan melaksanakan semua ini berarti seorang Muslim telah menjaga waktu siangnya dengan puasa, memelihara waktu malamnya dengan shalat tarawih serta berusaha mendapatkan ridha Allâh Ta'âla.
5. | MELAKSANAKAN SHALAT MALAM PADA LAILATUL QADAR KARENA IMAN DAN INGIN MENDAPATKAN PAHALA |
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang Allâh Ta'âla muliakan, melebihi semua malam lainnya, suatu malam saat Allâh Ta'âla menurunkan kitab-Nya. Allâh Ta'âla berfirman :
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‘ân) pada malam kemuliaan.
(Qs al-Qadr/97:1)
Allâh Ta'âla menjadikan Lailatul Qadar ini lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam ini para malaikat turun dan menjadikannya malam keselamatan dari segala keburukan dan dosa. Allâh Ta'âla mengkhususkan satu surat dalam al-Qur’ân yang membicarakan tentang malam ini. Orang yang terhalang dari berbagai kebaikan pada malam ini berarti dia terhalang dari semua kebaikan.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pernah mencari Lailatul Qadar ini pada seluruh hari pada bulan Ramadhân, karena Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhân, kemudian sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir. Orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, maka dia akan antusias untuk melaksanakan shalat malam pada malam yang lebih baik dari delapan puluh tiga tahun dan empat bulan tersebut.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhân
karena iman dan ingin mendapatkan pahala,
maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat.
(al-Bukhâri dan Muslim)
Untuk mendapatkan ampunan di malam itu, tidak disyaratkan untuk menyaksikannya secara langsung. Namun syaratnya adalah orang melakukan qiyamul lail sebagaimana tertuang dalam hadits tersebut.
6. BERSEDEKAH
Bersedekah termasuk salah satu qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) yang agung di hadapan Allâh Ta'âla. Dengannya, seorang hamba memperoleh kebaikan, sesuai dengan firman Allâh Ta'âla:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan. sesungguhnya Allâh mengetahuinya.
(Qs Ali Imrân/3:92)
Dalam hadits Mu’âdz radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan?
Puasa adalah perisai.
Bersedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.
Dan shalat seseorang di kegelapan malam …”
(at-Tirmidzi no: 2541)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam orang yang sangat dermawan. Dan Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhân saat beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Saat itu beliau lebih berbaik hati daripada angin yang bertiup sepoi-sepoi. Di antara bentuk sedekah terbaik adalah memberi makan orang yang puasa (ifthârus shâim). Disebutkan dalam hadits:
“Barang siapa memberi buka puasa bagi orang yang puasa
maka ia memperoleh pahala sepertinya, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.”
(HR. at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni)
Pahala orang yang bersedekah dilipat-gandakan sampai tujuh ratus lipat dan kelipatan yang lebih banyak lagi. Di bulan Ramadhân, penggandaan pahala itu semakin besar. Di antara pemandangan yang sangat menarik, antusiasme orang di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya untuk memberi buka puasa bagi kaum Muslimin di bulan Ramadhân.
7. MELAKUKAN UMRAH
Ibadah umrah termasuk faktor yang menggugurkan dosa-dosa.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Ibadah umrah ke ibadah umrah (berikutnya) adalah penggugur dosa antara keduanya.
Dan pahala haji mabrur tiada lain adalah surga”
(al-Bukhâri no: 1650)
Umrah di bulan Ramadhân pahalanya lebih besar daripada di bulan-bulan lainnya. Dari Ibnu Abbâs radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sehabis pulang dari haji Wada’ berkata kepada seorang wanita dari Anshar bernama Ummu Sinân :
“Apa yang menghalangimu untuk berhaji (denganku).”
Ia menjawab: “Abu Fulan (suaminya) memiliki dua onta.
Salah satu dipakainya untuk berhaji dan yang lain untuk mengairi persawahan.”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhân dapat mengganti haji bersamaku.”
(HR Bukhâri no 1863; Muslim no 3028)
Betapa besar keberuntungan orang yang umrah di bulan Ramadhân. Ia bagaikan berhaji bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam , seperti orang yang menyertai Beliau dalam ihram, sa'i dan thawaf dan seluruh manasik haji Beliau.
8. MENYEMPURNAKAN PUASA SEBULAN PENUH
Ada sekian banyak orang yang akan bebas dari api neraka di bulan Ramadhân, dan itu terjadi di setiap malam. Allâh Ta'âla menyempurnakan pahala orang-orang yang sabar tanpa perhitungan khusus.
Ada Ulama yang mengatakan:
Barang siapa berpuasa sebulan penuh dan meraih pahala sempurna,
dan berjumpa dengan malam lailatul qadar,
sungguh ia telah menggapai hadiah dari Allâh.
Semoga Allâh Ta'âla mengampuni dosa-dosa kita sekalian dan menutupi kekurangan-kekurangan kita dan memudahkan segala urusan kita.
(Diambil dari kitab Tadzkîrul Anâm Bidurûs ash-Shiyâm, karya Syaikh Sa‘d bin Sa‘îd al-Hajri, Dâr Ibnul Jauzi hlm 265-272.)
Penulis kitab Nadhratun Na’îm (10/5014) berkata : Hadits ini dikeluarkan al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (4/154) dan berkata: "Hadits ini shahîh sanadnya, namun imam al-Bukhâri dan Muslim tidak mengeluarkannya". Imam adz-Dzahabi menyetujui hal ini. (Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb). | |
HR at-Tirmidzi kitab Iman bâb Mâ Jâ‘a Fîman Yamûtu Wahuwa Yasyhadu An Lâ Ilâha Illallâh dan dishahîhkan al-Albâni dengan no. 2639 | |
Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 3163 | |
Penyusun kitab Nadhratun Na’îm mengatakan : Diriwayatkan oleh Imam an-Nasî’i 4/158 dan lafazh ini adalah lafazh imam an- Nasâ’i; diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad 1/191. Syaikh Ahmad Syâkir mengatakan : “Sanad hadits ini shahîh.” |
Kesombongan Menghalangi Hidayah
(Sirah Nabi: Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X)
Berbagai macam cara dilakukan oleh para pemuka Quraisy untuk membendung dakwah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, mulai diplomasi melalui paman beliau, Abu Thalib yang selalu melindungi meskipun berbeda keyakinan, hingga menggunakan cara-cara kasar. Misalnya memberikan gelar-gelar buruk, sebagai penyihir, pendongeng, dan juga dituduh gila. Tujuan para pemuka Quraisy itu, tidak lain adalah ingin menjauhkan manusia dari dakwah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam .
Mengapa mereka gigih melakukan permusuhan ini? Apakah karena mereka tidak mengetahui kebenaran al-Qur‘an, ataukah ada faktor lain? Di antara mereka sebenarnya ada yang mengetahui dengan fitrah mereka yang mengerti bahasa Arab, bahwa apa yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bukanlah sihir, juga bukan berasal dari tukang tenung. Ini bisa kita dapatkan dalam kisah berikut ini.
Kisah-kisah ini diangkat dari kitab Shahihus-Siratin-Nabawiyyah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hlm. 158-163.
PERSAKSIAN AL WALID BIN AL MUGHIRAH
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu, bahwa al-Walid bin al-Mughirah mendatangi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, yang kemudian oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dibacakanlah al-Qur`an kepadanya. Begitu mendengarnya, seakan-akan al-Walid bersimpati padanya. Hingga akhirnya berita ini pun sampai ke telinga Abu Jahal. Maka, Abu Jahal pun mendatangi al Walid seraya berseru:
“Wahai, paman. Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu!”
Al Walid bertanya,
”Untuk apa?”
Abu Jahal menjawab,
”Untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad. Maka sungguh dakwahnya pasti akan terhalang.”
Al-Walid berkata,
”Kaum Quraisy sudah mengetahui, bahwa aku termasuk yang paling banyak hartanya.”
Abu Jahal menimpali,
”Ucapkanlah tentangnya suatu ucapan yang menjelaskan kepada kaummu, bahwa engkau mengingkarinya.”
Dia (al-Walid) bertanya,
”Apa yang harus saya katakan? Demi Allâh, tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih faham dariku tentang syi’ir-syi’ir. Tidak ada yang lebih faham dariku tentang rajaznya (irama sajak) juga qasidahnya, juga syi’ir jin. Demi Allâh, perkataannya sama sekali tidak menyerupai semua itu. Demi Allâh, ucapan yang diucapkannya itu enak didengar dan indah. Sesungguhnya perkataannya itu, bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya (akarnya) banyak airnya. Ucapannya itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta bisa menghancurkan semua yang berada di bawahnya.”
Abu Jahal berujar,
”Kaummu tidak akan senang sampai engkau mengatakan sesuatu (yang buruk) tentang al Qur‘an.”
Al-Walid menimpali,
”Biarkan aku berpikir!”
(Sehingga) setelah berpikir keras, dia pun berkata:
“Ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dari orang lain,”
maka turunlah ayat :
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.
Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak,
dan anak-anak yang selalu bersama dia.
(QS al-Muddatstsir/74 : 11-13)
Demikianlah kisah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Hakim dari Ishaq.[1] Riwayat ini juga dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan-Nihayah.[2]
Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albani rahimahullâh mengatakan, bahwa tentang hal ini, Allâh Ta'ala mengabarkan kejahilan dan kerendahan akal mereka :
Bahkan mereka berkata(pula):
“(Al Qur`an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya,
bahkan ia sendiri seorang penyair,
maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mu’jizat,
sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus”.
(QS al Anbiyaa`/21:5)
Orang-orang Quraisy itu kebingungan. Mereka tidak mengetahui, apa yang seharusnya mereka katakan tentangnya. Semua perkataan mereka bathil, karena semua yang keluar dari yang haq adalah salah.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu;
karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar)."
(QS al Israa‘/17:48)
KISAH ‘UTBAH BIN RABI’AH
Imam ‘Abd bin Humaid meriwayatkan dalam Musnad-nya, dengan sanad dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallâhu'anhu, dia berkata :
Pada suatu hari kaum Quraisy berkumpul, lalu mereka berkata :
“Perhatikan orang yang paling mengetahui di antara kalian tentang sihir, perdukunan dan syi’ir! Hendaklah dia mendatangi lelaki ini (yaitu, Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) yang memecah-belah persatuan kita, mencerai-beraikan urusan kita dan mencela agama kita. Hendaklah ia mengajaknya berbicara dan menunjukkan bantahannya”.
Kata mereka,
”Kami tidak mengetahui (orang seperti itu) selain ‘Utbah bin Rabi’ah,”
mereka (pun) berkata:
“Engkau, wahai Abul Walid (kunyah ‘Utbah, Red.)”.
‘Utbah pun mendatangi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam seraya berkata:
“Wahai, Muhammad. Kamu yang lebih baik, ataukah ‘Abdullah?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diam tidak menjawab.
(Maka) ‘Utbah berkata lagi :
“Engkau yang lebih baik, ataukah Abdul Mutthalib?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (tetap) diam tidak memberikan jawaban.
Kemudian ‘Utbah berkata:
“Jika engkau meyakini bahwa mereka lebih baik darimu, maka (ketahuilah), mereka itu telah menyembah tuhan-tuhan yang engkau cela! Jika engkau yakin, engkau lebih baik dari mereka, maka jawablah agar kami bisa mendengar ucapanmu. Demi Allâh, sesungguhnya kami tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih membuat kaumnya merasa bosan dari pada engkau. Engkau telah memecah pesatuan kami, engkau cerai-beraikan urusan kami, engkau cela agama kami dan engkau cemarkan nama baik kami di mata orang Arab. Sehingga tersebar berita di tengah mereka, bahwa di tengah kaum Quraisy ada seorang penyihir, ada tukang tenung. Demi Allâh, kita tidak menunggu apapun kecuali seperti suara pekikan orang hamil, lalu sebagian di antara kita menghunus pedang kepada sebagian yang lain untuk saling membunuh. Wahai lelaki (yang dimaksud adalah Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Red.), jika engkau memiliki kebutuhan (kesusahan, Red.), kami akan mengumpulkan harta untukmu, sehingga engkau menjadi orang Quraisy yang terkaya. Jika engkau ingin menikah, maka pilihlah wanita manapun yang engkau inginkan, kami akan menikahkan engkau dengan sepuluh wanita.”
Setelah itu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bertanya,
”Apakah engkau sudah selesai?”
‘Utbah bin Rabi’ah menjawab,
”Ya,”
Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membacakan ayat :
Haa Miim. Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.
(QS Fusshilat/41 ayat 1-3)
sampai dengan ayat:
Jika mereka berpaling, maka katakanlah:
“Aku telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud”.
(QS Fusshilat/41 ayat 13)
Kemudian ‘Utbah berkata,
”Cukup! Apakah engkau tidak memiliki selain yang ini?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Tidak.”
Lalu ‘Utbah kembali ke kaum Quraisy.
Mereka bertanya :
“Ada apa denganmu?”
Dia menjawab,
”Saya kira, saya telah menyampaikan semua ucapan yang hendak kalian ucapkan kepadanya”.
Mereka bertanya lagi:
“Apakah dia memberikan jawaban?”
‘Utbah menjawab,
”Ya,”
Kemudian, ia berkata:
“(Oh) Tidak! Demi (Allâh) yang menegakkan bukti. Saya tidak memahami apa yang ia ucapkan selain peringatannya kepada kalian tentang petir, seperti petir pada zaman ‘Ad dan Tsamud.”
Mendengar jawaban ‘Uthbah, orang-orang Quraisy keheranan, seraya berkata:
“Celaka engkau! Lelaki itu (Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) berbicara denganmu dengan bahasa Arab, dan engkau tidak mengerti maksudnya?”
Dia (‘Utbah) menjawab,
”Tidak, demi Allâh, saya tidak memahami apapun dari ucapannya kecuali peringatan tentang petir.”
Imam al-Baihaqi dan yang lainnya dari al-Hakim, dengan sanadnya dari al-Ajlah (tentang orang ini terdapat komentar[3]) dan beliau menambahkan :
“Jika engkau menginginkan kepemimpinan, maka kami berjanji akan setia kepadamu, sehingga engkau menjadi pemimpin selama engkau masih ada.”
Dalam riwayatnya ini diceritakan, ketika Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membacakan firman Allâh Ta'ala (yaitu, QS Fusshilat/41 ayat 13, Red.), maka ‘Utbah memegang mulut Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta memintanya agar berhenti. Dan setelah kejadian itu, ‘Utbah tidak keluar menuju keluarganya. Dia mengasingkan diri dari mereka.
(Mengetahui hal ini), maka Abu Jahal berseru:
“Demi Allâh, wahai kaum Quraisy, saya memandang ‘Utbah sudah cenderung kepada Muhammad, dan perkataan Muhammad telah membuatnya ta’ajjub (kagum). Ini semua disebabkan oleh kesulitan yang menimpanya. Ayo kita ke sana!”
Mereka pun mendatangi ‘Uthbah, lalu Abu Jahal berkata:
“Wahai, ‘Utbah! Tidaklah kami mendatangimu, kecuali karena kecendrunganmu kepada Muhammad dan kekagumanmu kepadanya. Jika engkau memiliki kebutuhan, kami akan mengumpulkan harta-harta kami, sehingga harta itu bisa membuatmu tidak membutuhkan Muhammad.”
Mendengar (perkataan) ini, ‘Utbah marah dan bersumpah untuk tidak berbicara dengan Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam selamanya dan berkata:
"Kalian sudah mengetahui, bahwa aku termasuk kaum Quraisy yang paling banyak hartanya. Aku sudah mendatanginya ..."
Kemudian dia menceritakan kisah pertemuannya dengan Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
"... dan dia memberikan jawaban dengan sebuah ungkapan. Demi Allâh, ucapannya tidaklah termasuk sihir, juga syi’ir dan juga (bukan) perdukunan. Dia kemudian membacakan : ... (yaitu, QS Fusshilat/41 ayat 1 sampai dengan ayat 13). Lalu saya pegang mulutnya dan saya minta agar ia berhenti. Saya tahu, jika Muhammad mengatakan sesuatu, dia tidak pernah dusta. Saya khawatir adzab itu menimpa kalian."
KISAH ABU JAHAL
Orang yang memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ini, sebenarnya meyakini yang dibawa Rasûlullâh itu benar. Namun kesombongan dan fanatik kepada jahiliyah telah menghalanginya dari hidayah. Akibatnya, dia mendapatkan adzab yang pedih dari Allâh Ta'ala, adzab yang tidak pernah berhenti.[4]
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan dengan sanadnya dari Mughirah bin Syu’bah :
“Pertama kali aku mengetahui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, yaitu saat aku dan Abu Jahal berjalan di gang-gang kota Mekkah. Tiba-tiba kami berjumpa dengan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepada Abu Jahal :
“Wahai, Abul Hakam. Marilah menuju Allâh dan RasulNya. Saya mengajakmu menuju Allâh”.
Abu Jahal menjawab:
“Wahai, Muhammad. Tidakkah engkau berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Apakah engkau menginginkan agar kami memberikan persaksian, bahwa engkau telah menyampaikannya? (Jika itu yang engkau inginkan, Red.), maka aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikannya. Demi Allâh! Jika aku mengetahui yang engkau bawa itu benar, maka pasti aku telah mengikutimu.”
Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berlalu, dan Abu Jahal melihat ke arahku seraya berkata:
“Demi Allâh! Sesungguhnya aku mengetahui yang dibawanya itu haq. Akan tetapi, ada sesuatu yang menghalangiku (untuk mengikutinya)”.[5]
Tentang riwayat ini, Syaikh al-Albani mengatakan:
"Perkataan ini adalah perkataannya la’anahullah, sebagaimana dikhabarkan oleh Allâh Ta'ala tentang orang ini dan orang-orang yang semisal dengannya:
Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang diutus Allâh sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya." Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat adzab, siapa yang paling sesat jalannya. (QS al-Furqan/25 ayat 41- 42)"
Demikianlah kisah beberapa tokoh kafir Quraisy yang menolak dan menentang dakwah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, padahal mereka mengakui ajaran yang dibawa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam itu haq. (Nsd).
Syaikh al-Albani rahimahullâh berkata, ”Hadits ini dibawakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/506-507)". Dan beliau mengatakan shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini, sebagaimana dikatakan oleh mereka, dibawakan juga oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (29/156), dari Ikrimah secara mursal dan dari jalur yang lain dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu. | |
Al-Bidayah wan-Nihayah (3/60). | |
Syaikh al-Albani rahimahullâh berkata: “Dia adalah al-Ajlah bin ‘Abdullah bin Hujaiyah al-Kindiy. Dia termasuk orang shaduq, Syi’ah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab at Taqrib. Dan gurunya dalam hadits ini adalah orang yang meriwayatkannya dari Jabir, yaitu Dziyal bin Harmalah al-Asadi. As-Syaibani juga Hushain dan Hajaj bin Arath. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Abi Hatim (3/451). Zhahirnya, orang ini terdapat dalam kitab Tsiqat karya Ibnu Hibban. Dan lewat jalur ini, Abu Nuaim meriwayatkannya dalam Dalailun-Nubuwwah hlm. 75. Begitu juga al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak (2/253), namun dengan ringkas. Al-Hakim rahimahullâh mengatakan, sanadnya shahih, dan ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi." | |
[4] | Semoga Allâh Ta'ala melindungi kita dari sifat sombong yang menghalangi kita menerima al-haq, dan semoga Allâh Ta'ala memelihara kita dari fanatik kepada yang bathil. |
Syaikh al-Albani berkata, ”Sanadnya hasan.” |
Qawai'id Fiqhiyah: Kaidah Pertama
Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, tidaklah memerintahkan sesuatu
kecuali yang murni mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan.
Dan tidaklah melarang sesuatu
kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.
Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allâh Ta'ala maupun yang berhubungan dengan hak para hamba-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat,
dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(Qs. An-Nahl/16:90)
Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allâh Ta'ala dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allâh Ta'ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allâh Ta'ala. Allâh Ta'ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah-Nya, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allâh Ta'ala juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Nya, lalu menjauhinya.
Demikian pula firman Allâh Ta'ala:
Katakanlah: “Rabbku menyuruh menjalankan keadilan”.
Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat
dan sembahlah Allâh dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
(Qs. al-A’râf/7:29)
Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allâh Ta'ala, dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan akan kejelekannya.
Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu
yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh
apa yang tidak kamu ketahui”.
(Qs. al-A’râf/7:33)
Dalam ayat yang lain, tatkala Allâh Ta'ala memerintahkan agar bersuci sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya, (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
(Qs. Al-Mâidah/5:6)
Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika tidak ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu.
Selanjutnya Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(Qs al-Mâidah/5 : 6)
Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya termasuk jajaran kenikmatan terbesar di dunia ini, dan berkaitan erat dengan nikmat-Nya nanti di akhirat.
Perintah Allâh Ta'ala yang maslahatnya seratus persen dan larangan Allâh dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh berikut.
Sebagian besar hukum-hukum dalam syari’at ini mempunyai kemaslahatan yang murni. Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati, ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan akhirat.
Kejujuran maslahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada maslahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau maslahatnya lebih dominan.
Demikian pula, keadilan mempunyai maslahat yang murni. Sedangkam kezhaliman, seluruhnya adalah mafsadat. Adapun perjudian dan minum khamr, mafsadat dan bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala mangharamkannya.
Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
(Qs. al-Baqarah/2:219)
Jika ada maslahat-maslahat besar dari sebagian perkara yang mengandung unsur perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad.
Adapun mempelajari sihir, maka sihir hanyalah mafsadat semata-mata. Sebagaimana firman Allâh Ta'ala , (yang artinya):
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya
dan tidak memberi manfaat.
(Qs. Al-Baqarah/2:102)
Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang mengandung mafsadat dan bahaya. Jika maslahat yang besar mengalahkan mafsadat akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi.
Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs al-Mâidah/5:3)
Pokok dan kaidah syari’ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka, bisa digolongkan ke dalam perkara yang diperintahkan dan dicintai Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allâh Ta'ala kepada para hamba-Nya, karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai sarana pendukung.
Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri, penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang dihasilkannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-kaidah syar’iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.
Kitab rujukan:
al-Qawâ’id wa al-Ushul al-Jâmi’ah wa al-Furûq wa at-Taqâsiim al-Badi’at an-Naafi’at
Karya: Syaikh ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di
Tahqiq: oleh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih
Cetakan: Dar al-Wathan
Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah
(Oleh: Armen Halim Naro)
Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidin radhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat.
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh–.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.
Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
| Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam. |
| Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib. |
| Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
|
| Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
”Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya. Kebanyakan, kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7] Berkata Ahmad dan Ishaq: ”Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8] |
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama‘a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.
Ketiga. Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu :
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]
Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]
Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
| Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh akan memutus (urusan)nya.”[17]. |
| Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah. |
| Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
Sesungguhnya Allâh dan MalaikatNya mendo’akan |
Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu:
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
”Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
”Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]
Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.
[1] | HR Muslim no. 436. |
[2] | Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149. |
[3] | Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249. |
Ibid, halaman 1/151. | |
HR Muslim 2/133. Lihat Irwa‘ Ghalil 2/256-257. | |
HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,”Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,”Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336. | |
Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338. | |
Lihat Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39. | |
Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh. | |
Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H. | |
HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703. | |
Shalatul Jama’ah, halaman 166-167. | |
HR Muslim no. 436. | |
Lihat Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan Al Umm, 1/233. | |
HR Abu Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31. | |
HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207. | |
HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495. | |
HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih. | |
Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211. | |
HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572. | |
Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83. | |
HR Muslim no. 260 dan yang lain. | |
Fathul Bari, 1/572. | |
HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507. | |
Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254. | |
“Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159) |
(Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi)
Allâh Ta'ala menutupi kekurangan shalat fardhu dengan shalat-shalat sunnah dan memerintahkan untuk menjaga dan melaksanakannya secara berkesinambungan. Di antara shalat sunnah yang diperintahkan untuk dilakukan secara kontinyu, yaitu shalat Witir.
Dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
Sesungguhnya Allâh telah menambah untuk kalian satu shalat,
maka jagalah shalat tersebut.
Shalat itu ialah Witir.
(HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni
dalam Irwa‘ al-Ghalîl, 2/159)
Karenanya, kita perlu mengetahui hukum-hukum seputar shalat Witir ini, agar dapat mengamalkannya sesuai ajaran dan tuntunan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
PENGERTIAN SHALAT WITIR
Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ‘ hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam.[1]
HUKUM SHALAT WITIR
Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah[2] menurut mayoritas ulama. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut.
1. | Hadits Ibnu Umar : Dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau berkata: Dalam hadits ini menunjukkan adanya perintah menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam. Ibnu Daqîqi al-’Iid menyatakan, orang yang mewajibkan shalat witir berdalil dengan bentuk perintah (dalam hadits ini). Seandainya mereka berpendapat wajibnya shalat witir pada akhir shalat malam, maka itu lebih tepat”.[3] |
2. | Hadits Abu Ayyûb al-Anshâri :
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: |
3. | Hadits Abu Bushrah al-Ghifâri :
"Sesungguhnya Allâh telah menambah untuk kalian satu shalat, |
Namun ada juga dalil lain yang memalingkannya dari perintah-perintah dalam dua hadits di atas, yaitu sebagaimana hadits Ali bin Abi Thâlib radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
"Shalat Witir tidak wajib seperti bentuk shalat wajib,
namun ia adalah sunnah yang disunnahkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam."
(HR an-Nasâ‘i. Dishahihkan Syaikh al-Albâni
dalam Shahîh Sunan an-Nasâ‘i, 1/368 dan Shahih al-Jâmi’, no. 7860)
Demikian juga keumuman hadits Thalhah bin Ubaidillâh radhiyallâhu'anhu berikut:
"Seorang dari penduduk Najd
mendatangi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam keadaan rambut kusut,
terdengar gema suaranya yang tidak jelas
dan tidak dimengerti apa yang dikatakannya hingga dekat.
Ternyata ia bertanya tentang Islam,
maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
'Shalat lima waktu sehari dan semalam,'
lalu ia bertanya lagi:
'Apakah ada yang lainnya atasku?'
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
'Tidak, kecuali bila engkau mngerjakan shalat sunnah'."
Kemudian di akhir dialog itu Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata:
'Beruntunglah ia bila benar.'"
(HR al-Bukhâri)
Demikian juga Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam selalu mengerjakannya dalam keadaan mukim dan bepergian, dan menganjurkan manusia mengerjakannya.[4]
Syaikh al-Albâni rahimahullâh, setelah menyampaikan hadits Abu Bushrah di atas, beliau rahimahullâh berkata:
“Zhâhir perintah dalam sabda Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : (فَصَلُّوْهَا) menunjukkan kewajiban shalat witir. Dengan dasar ini, madzhab Hanafi berpendapat menyelisihi mayoritas ulama. Seandainya tidak ada dalam dalil-dalil qath’i, pembatasan shalat-shalat wajib dalam sehari semalam hanya lima shalat; tentulah pendapat madzhab Hanafi lebih dekat kepada kebenaran. Oleh karena itu, harus dikatakan, bahwa perintah disini tidak menunjukkan wajib, bahkan untuk menegaskan kesunnahannya. Berapa banyak perintah-perintah (syari’at) yang mulia dipalingkan dari kewajiban dengan dalil-dalil yang lebih rendah dari dalil-dalil qath’i ini. Sehingga mayoritas ulama sepakat (shalat witir) hukumnya sunnah dan tidak wajib, dan inilah yang benar. Kami nyatakan hal ini dengan mengingatkan dan menasihati untuk memperhatikan shalat witir dan tidak meremehkannya”.[5]
Syaikhul-Islâm Ibnu Taimiyyah menyatakan di dalam Majmu’ Fatâwâ (23/88):
“Witir adalah sunnah muakkadah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan yang terus-menerus meninggalkannya, maka ia tertolak persaksiannya”.
Wallahu a’lam.
WAKTU SHALAT WITIR
Para ulama sepakat, bahwa awal waktu shalat Witir adalah setelah shalat Isyâ‘ hingga terbit fajar Subuh. Imâm Muhammad bin Nashr al-Marwazi (wafat
tahun 294 H) mengatakan:
“Yang telah disepakati para ulama, bahwasanya waktu shalat Witir ialah antara (setelah) Shalat Isyâ` sampai terbitnya fajar Subuh. Mereka berselisih pada waktu setelah itu hingga shalat Subuh."[6]
Hal ini didasarkan pada banyak hadits, di antaranya sebagai berikut :
1. | Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, beliau berkata:
"Dahulu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam shalat antara setelah selesai shalat Isya‘, yaitu yang disebut oleh orang-orang dengan - al-’atamah - sampai fajar sebelas rakaat dengan salam setiap dua raka’at dan berwitir satu raka’at. |
2. | Hadits Abu Bushrah al-Ghifâri terdahulu yang berbunyi :
"Maka shalatlah di antara shalat Isyâ‘ sampai shalat fajar." |
Adapun akhir waktu shalat Witir jelas ditegaskan juga oleh hadits yang lainnya, yaitu sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
"Shalat malam dua raka’at dua raka’at;
apabila salah seorang di antara kalian khawatir Subuh,
maka ia shalat satu raka’at sebagai witir bagi shalat yang telah dilaksanakannya.
(HR al-Bukhâri dan Muslim)
WAKTU YANG DIUTAMAKAN
Pelaksanaan shalat Witir, yang utama dilakukan di akhir shalat malamnya,[7] dengan dasar sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
"Dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau berkata:
'Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan Witir.'"
(Muttafaqun ‘alaihi)
Sedangkan waktunya tergantung kepada keadaan pelakunya. Yang utama, bagi seseorang yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka ia mengerjakannya sebelum tidur. Adapun seseorang yang yakin dapat bangun pada akhir malam, maka yang utama dilakukan di akhir malam.
Dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
"Barang siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam,
maka witirlah di awalnya.
Dan yang yakin akan bangun di akhir malam,
maka witirlah di akhir malam;
karena shalat di akhir malam disaksikan dan itu lebih utama.
(HR Muslim)
JUMLAH RAKAATNYA
Jumlah raka’at dalam shalat Witir boleh dilakukan dengan satu raka’at, tiga raka’at, lima raka’at, tujuh raka’at, sembilan raka’at dan sebelas raka’at; dengan dasar sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
"Shalat Witir wajib bagi setiap muslim.
Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima raka’at, maka kerjakanlah.
Yang ingin berwitir tiga raka’at, maka kerjakanlah;
dan yang ingin berwitir satu raka’at, maka kerjakanlah!"
(HR Abu Dâwud, an-Nasâ‘i dan Ibnu Mâjah,
dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni
dalam Shahîh Sunan Abu Dâwud, no. 1421)
Sedangkan perincian dan tata caranya ialah sebagai berikut :
1. | Shalat Witir satu raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Ayyûb di atas yang berbunyi: "Dan yang ingin berwitir satu raka’at, maka kerjakanlah!" | ||||
2. | Shalat Witir tiga raka’at. Shalat Witir tiga raka’at boleh dilakukan dengan dua cara :
| ||||
3. | Shalat Witir lima raka’at. Shalat Witir lima raka’at dapat dilakukan dengan dua cara :
| ||||
4. | Shalat Witir tujuh raka’at. Shalat Witir tujuh raka’at dapat dilakukan dengan dua cara.
| ||||
5. | Shalat Witir sembilan raka’at. Demikian juga shalat Witir yang sembilan raka’at, ialah sebagai berikut :
|
BACAAN KETIKA SHALAT WITIR
Dalam melaksanakan shalat Witir, seseorang disyariatkan untuk membaca :
· Surat al-A’lâ, pada raka’at pertama.
· Surat al-Kâfirûn pada raka’at kedua.
· Surat al-Ikhlas pada raka’at ketiga.
Dalil tentang hal ini dijelaskan dalam hadits Ubai bin Ka’ab yang berbunyi:
"Dahulu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
membaca dari shalat witirnya surat al-A’la,
dan pada raka’at kedua membaca surat al-Kaafirun,
dan rakaat ketiga membaca Qul Huwallahu Ahad.
Beliau tidak salam kecuali di akhirnya.
(HR an-Nasâ’i dan dishahîhkan Syaikh al- Albâni
dalam Shahih Sunan an-Nasâ’i, 1/372)
Demikian, pembahasan seputar shalat Witir secara ringkas. Insya Allâh, pembahasan shalat Witir ini akan bersambung dengan pembahasan Qunut dalam Witir. Semoga bermanfaat.
Maraji‘:
1. Majmu’ Fatâwâ Ibnu Taimiyah.
2. Manhaj as-Sâlikîn wa Taudhîh al-Fiqh fi ad-Dîn, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Tahqîq: Muhammad bin Abdul-’Azîz al-Khudhairi, Dar al-Wathan, KSA. Cetakan Pertama, Tahun 1421.
3. Mukhtashar Kitab al-Witri Abu Abdillah Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Diringkas oleh Ahmad bin ‘Ali al-Maqrizi (wafat tahun 845), Tahqiq: Ibrahim Muhammad al-’Ali dan Muhammad Abdullah Abu Sha’lik, Maktabah al-Manar, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413.
4. Shahîh Fikih Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Sâlim, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, tanpa tahun.
5. Silsilah al-Ahâdits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhihâ wa Fawâidihâ, Syaikh al-Albâni, Maktabah Al Ma’arif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.
6. Dan lain-lain.
[1] | Shahîh Fikih Sunnah 1/381. |
[2] | Manhaj Sâlikîn, hlm. 75. |
[3] | Ihkâm al-Ahkâm, 2/82. |
[4] | Manhaj as-Sâlikîn, hlm. 75. |
[5] | Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah, 1/222. |
Mukhtashar Kitab al-Witri Abu Abdillah Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Diringkas oleh Ahmad bin ‘Ali al-Maqrizi (wafat tahun 845), Tahqiq: Ibrahim Muhammad al-’Ali dan Muhammad Abdullah Abu Sha’lik, Maktabah al-Manar, Yordania, Cetakan Pertama, | |
Manhaj as-Sâlikîn, hlm. 75. |
Nasihat Bagi Jamaah Haji :
Sebelas Alasan Untuk Tidak Umrah Berulang Kali
Saat Berada Di Mekkah
(Fikih: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X)
Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal (di luar tanah haram), seperti Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala.
Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh dengan penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa’i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh ‘Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]
SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allâh, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Di samping itu, juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.
Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari’at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allâh Ta'ala.
Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida‘ (melampaui batas) terhadap hak Allâh Ta'ala, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allâh Ta'ala dalam hukum-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman :
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?
Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."
(QS asy Syura /42: 21)[2]
JUMLAH UMRAH RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah sebanyak empat kali.
(Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji’ranah,
dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau”. [3]
Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat.[4] Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha‘[5] pada tahun 7 H. Selama tiga hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah.[6]
SEBELAS ALASAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dalam Fatawanya. Pendapat beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullâh dalam Syarhul Mumti’.[7]
Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas– tidak disyariatkan.
Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh menyimpulkan, setiap umrah mempunyai safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja.[8] Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.
Kedua. Tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari para sahabat yang menyertai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam haji Wada’ yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Mereka juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah.
Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.[9]
Ketiga. Umrah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di sana.
Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah.
Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]
Keempat. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam.
Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan) sejak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu. Hal ini mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah.
Tidak mungkin Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya kurang) dibandingkan amalan yang lebih afdhal (nilainya lebih utama) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan umrah berulang-ulang saat berada di Mekkah.[11]
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata,
”Tidak ada umrah yang beliau lakukan dengan cara keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah. Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali ‘Aisyah semata…"[12]
Kelima. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliau mengizinkannya setelah ‘Aisyah memohon dengan sangat.[13]
Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Aisyah radhiyallâhu'anha mendapatkan haidh. Karena ‘Aisyah radhiyallâhu'anha menyangka, bahwa umrah yang ia lakukan bersamaan dengan haji (haji qiran) batal, ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengijinkan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha melakukan umrah lagi dan memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah radhiyallâhu'anha ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah di sana.
Umrah yang dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anhaini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.
Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan, (Umrah ‘Aisyah radhiyallâhu'anha) dijadikan dasar tentang umrah dari Mekkah. Dan tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) masyru’ (disyari'atkan) selain riwayat tersebut. Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]
Imam asy-Syaukani rahimahullâh berkata,
”Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Dan tidak ada riwayat, yang menerangkan sahabat Nabi melakukan yang demikian itu”.[15]
Keenam. Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah.
Imam Ahmad rahimahullâh pernah menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
“Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.
‘Atha bin Abi Rabah rahimahullâh[16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata :
“Tidak ada manusia ciptaan Allâh kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.
Thawus rahimahullâh[17] berkata:
“Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja (Kisah ini sudah dijelaskan di atas).
Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]
Ketujuh. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan).[19]
Kedelapan. Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.
Kesembilan. Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah.
Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al-Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama.[20]
Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. Sa’id bin Manshur rahimahullâh meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus rahimahullâh, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan :
“Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa”.
Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?”
Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang dari menempuh jarak empat mil tersebut, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]
‘Atha` pernah berkata :
“Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”.[22]
Kesepuluh. Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam.
Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum. [23]
Di antara dalil yang umum, hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya.[24]
Tentang hadits ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullâh mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim.[25]
Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.
Kesebelas. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]
LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menambahkan :
“Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.
Alasannya, kata beliau rahimahullâh, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allâh) yang paling afdhal yang telah Allâh tetapkan di dalam Kitab-Nya, berdasarkan keterangan Nabi-Nya.
Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnya. Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Wahai Bani Abdi Manaf,
janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah
dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang. [27]
Allâh Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Ismail 'alaihissalam dengan berfirman :
Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf,
yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.
(QS al Baqarah/2:125)
Dalam ayat yang lain:
Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf,
dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang ruku’ dan sujud.
(QS al Hajj/22:26)
Pada dua ayat di atas, Allâh Ta'ala menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka’bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallambersabda:
Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat penyuci bagi diriku.
(HR. al Bukhari-Muslim)
Maksudnya, Allâh Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu.
Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat yang tempat pelaksanaannya lebih umum. Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28] Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali,
seperti membebaskan satu budak belian.[29]
Kesimpulannya, memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]
Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulangkali saat berada di Mekah, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat radhiyallâhu'anhum. Dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Yaitu dalam sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu."
(Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.)’. 31
Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallâhu a’lam bish-shawab.
Maraji :
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul ‘Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
[1] | Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668. |
[2] | Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al-Khumayyis dalam adz-Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8. |
[3] | Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450. |
[4] | Zadul Ma’ad, 2/89. |
[5] | Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha‘ atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk meng-qadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali saja. Demikian penjelasan as-Suhaili rahimahullâh. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Zadul Ma’ad, 2/86. |
[6] | Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86. |
[7] | Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy -Syarhul Mumti’, 7/407. |
Fatawa al-‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/252. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/254. | |
Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273. | |
Zaadul Ma’ad, 2/89. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/252. | |
Zaadul Ma’ad, 2/163. | |
Dikutip dari al Wajiz, halaman 268. | |
Atha bin Abi Rabah Aslam al Qurasyi al Fihri rahimahullâh, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Di antara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash dan Abdullah bin Zubair radhiyallâhu'anhum. Seorang mufti Mekah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114 H. | |
Thawus bin Kaisan al Yamani rahimahullâh, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in. berguru kepada sejumlah sahabat. misalnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Muad bin Jabal radhiyallâhu'anhum. Seorang ahli fiqh di zamannya. Wafat tahun 106 H. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/256-258. | |
Ibid, 26/262. | |
Ibid, 2/264. | |
Ibid, 26/264. | |
Ibid, 26/266. | |
Ibid, 26/270. | |
HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349. | |
Asy Syarhul Mumti’, 7/408. | |
Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram. | |
Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas. | |
Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919. | |
Majmu’ al Fatawa, 26/290. | |
Al Wajiz, halaman 268. |
Ittiba' Kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
Sebagai Perwujudan Syahadatain
(Oleh: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Kita bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas segala nikmat yang telah dikaruniakan kepada kita. Nikmat yang Allâh Ta'âla karuniakan kepada kita sangat banyak dan tidak dapat kita hitung.
Allâh Ta'âla berfirman:
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu)
dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh,
tidaklah dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia itu,
sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh)
(QS Ibrahim/14 : 34)
Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh, nikmat terbagi menjadi dua. Pertama, nikmat mutlaqah (mutlak). Yaitu nikmat Islam, iman, hidup berlandaskan sunnah, terhindar dari marabahaya. Hal ini dilimpahkan oleh Allâh Ta'âla hanya kepada orang-orang mukmin yang mencintaiNya. Kedua, nikmat muqayyadah (terbatas). Yaitu nikmat sehat, rizki, keturunan, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Nikmat ini diberikan oleh Allâh, tidak hanya bagi kaum Mukminin, namun juga kepada orang-orang kafir dan munafiqin, sebagai bukti bahwa Allâh adalah Maha Pemurah kepada setiap hambaNya, baik yang taat maupun yang ingkar.
Kita wajib bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas nikmat yang telah diberikan kepada kita, berupa nikmat Islam dan nikmat berada di atas Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang mulia, serta nikmat ‘afiat dan keselamatan.
Setiap orang yang meyakini Islam sebagai agamanya, pada hakikatnya telah menyatakan persaksian dan pengakuannya dengan dua kalimat syahadat:
Aku bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh,
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh
Demikian juga halnya dengan orang yang hendak masuk Islam, maka dia wajib mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
yang berarti “aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh”, mengandung makna (tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allâh Ta'âla).[1]
Adapun makna adalah, tidak ada yang diikuti dengan benar kecuali hanya Muhammad Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, mengikuti selain Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa dalil, berarti telah mengikuti kebatilan.
Allâh Ta'âla berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya,
amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)
(QS al A’râf/7 : 3)[2]
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.
Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS an Nisâ’/4: 65)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allâh dan RasulNya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allâh dan RasulNya, maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS al Ahzâb : 36)
Syahadat Muhammad Rasûlullâh mengandung konsekuensi sebagai berikut :
a. | , yaitu mentaati yang diperintahkan oleh beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Barangsiapa taat kepada Allâh dan RasulNya,
|
b. | yaitu membenarkan yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam sampaikan. Dalilnya antara lain :
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), |
c. | , yaitu yaitu menjauhkan diri dari yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam larang. Dalilnya antara lain :
…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. |
d. | , yaitu tidak beribadah kepada Allâh Ta'âla melainkan sesuai dengan cara yang telah disyariatkan. Dengan kata lain, kita wajib beribadah kepada Allâh Ta'âla menurut petunjuk yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam syari’atkan. Dalilnya antara lain : Katakanlah: |
Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam diutus kepada jin dan manusia, dan kita diperintahkan untuk beriman kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan ittiba’ kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan nikmat yang besar bagi kaum Mukminin, sebagaimana Allâh Ta'âla berfirman :
Sungguh, Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al Kitab dan al Hikmah.
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
(QS Ali ‘Imran/3 : 164)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th. 728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan dan celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya, setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau khusus, sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat. Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu) gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya baginya.
Adapun syar’iat itu, adalah cahaya yang dapat menjelaskan apa-apa yang bermanfaat baginya dan apa-apa yang berbahaya. Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam untuk menjelaskan apa-apa yang bermanfaat bagi manusia, dan menjelaskan pula tentang apa yang berbahaya. Dan syari’at ini adalah cahaya Allâh Ta'âla di muka bumi ini, merupakan keadilan Allâh Ta'âla di antara hamba-hambanya, dan benteng Allâh Ta'âla yang sangat kokoh. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka dia akan aman.
Yang dimaksud dengan syari’at ini, bukan hanya sekedar membedakan yang bahaya dan manfaat dengan perasaan. Sebab kalau hanya dengan perasaan, maka hewan pun bisa membedakannya, keledai dan unta pun bisa membedakannya. Bahkan unta dapat membedakan debu dengan tepung. Tetapi yang dimaksud disini, ialah membedakan antara manfaat iman, tauhid, keadilan, kebaikan, jujur, amanah, sabar, amar ma’ruf nahi munkar, silaturahmi, berbuat baik kepada kedua orang tua dan tetangga, memenuhi hak, mengikhlaskan amal semata-mata karena Allâh, tawakal kepadaNya, ridha dengan qadha dan qadharNya, tunduk kepada hakNya, taat kepada perintahNya, loyal kepada wali-wali Allâh Ta'âla dan memusuhi musuh-musuhNya, dan seterusnya.”[5]
Apa yang kalian sembah? Dan bagaimana kalian menjawab seruan atau mengikuti para rasul? Imam Ibnul Qayyim, dalam muqadimmah kitabnya, Zâdul Ma’ad fi Hadyi Khairil ’Ibad,[6] beliau menjelaskan tentang makna dua kalimat syahadat :
yang berarti aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh Ta'âla. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan bumi dan langit, Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk dan mengutus seluruh rasul. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menurunkan kitab-kitabNya, Allâh Ta'âla menetapkan syariat-syariatNya.
Dan dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan timbanganNya dan meletakkan semua catatan amal. Dan dengannya manusia digiring ke surga atau ke neraka. Dengan kalimat ini, manusia terbagi menjadi dua. Yaitu mukminin (orang-orang yang beriman) dan kufar (orang-orang yang kafir), orang-orang yang baik dan yang jahat.
Kalimat ini merupakan sumber dari ciptân dan perintah, ganjaran dan siksa. Kalimat ini merupakan kalimat yang hak, yang dengannya Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk. Dan tentang kalimat inilah (dan kewajibannya terhadap kalimat inilah), manusia akan dihisab. Dengan kalimat ini, kiblat dan agama ini ditegakkan, dihunusnya pedang dan ditegakkannya jihad fi sabilillah. Dan ia merupakan hak Allâh Ta'âla yang wajib dipenuhi oleh seluruh hambaNya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, merupakan kalimat Islam, dan kunci untuk masuk ke surga. Dengan kalimat ini, seluruh makhluk yang pertama dan terakhir akan ditanya oleh Allâh Ta'âla, serta tidak akan bergeser kedua kaki hambaNya pada Hari Kiamat di hadapan Allâh Ta'âla, sehingga dia ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah :
Pertama, (apa yang kalian sembah?). Kedua, (bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam))?
Jawaban yang pertama, yaitu dengan mengimani kalimat Lâ ilaha illallâh, dengan mengucapkannya, memahami maknanya dan mengamalkannya. Jawaban yang kedua, yaitu dengan mengimani bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, dengan mengucapkannya dan meyakininya, dengan mentaati dan tunduk kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah orang yang amanah atas wahyu yang diturunkan Allâh Ta'âla kepadanya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah seorang yang terbimbing dari seluruh makhluk yang ada. Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai utusan Allâh Ta'âla kepada para hambaNya.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa agama yang lurus, dengan manhaj yang lurus, sebagai rahmat bagi sekalian alam, sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagai hujjah (bukti) kebenaran atas seluruh makhlukNya. Allâh Ta'âla mengutus beliau shallallâhu 'alaihi wasallam ketika terjadi masa kekosongan para Rasul. Allâh Ta'âla tunjuki dengannya jalan yang paling lurus, dan jalan yang paling jelas. Allâh Ta'âla wajibkan atas seluruh hambaNya untuk mentaati, menolong, membantu, menghormati, mencintai beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dan menegakkan hak-hak atas beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Semua jalan akan ditutup oleh Allâh, kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada jalan yang dapat membawa seseorang masuk ke dalam surga, kecuali dengan mengikuti jalan yang ditempuh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Allâh Ta'âla menjadikan kerendahan dan kehinân bagi orang-orang yang menyelisihi jalan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, sebagaimana sabda beliau shallallâhu 'alaihi wasallam:
Aku diutus dengan pedang di hadapan Kiamat, sehingga Allâh disembah semata,
tidak ada sekutu bagiNya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku,
dijadikan kehinân dan kerendahan bagi orang-orang yang menyalahi perintahku.
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.
(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, II/50, 92; sanadnya hasan,
dari sahabat Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu.
Dihasankan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalany dalam Fathul Bari, VI/98)
Di dalam muqadimah kitab tersebut (Zadul Ma’ad), Ibnul Qayyim rahimahullâh menjelaskan secara tuntas tentang makna dua kalimat syahadat. Beliau menegaskan, setiap makhluk akan ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah besar dan penting. Yaitu, apa yang kalian sembah, dan bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam)?
Disebutkan dalam firman Allâh Ta'âla:
Maka sesungguhnya, Kami akan menanyai ummat-ummat
yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka,
dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)
(QS al A’râf : 6)
Firman Allâh Ta'âla:
Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allâh menyeru mereka, seraya berkata:
“Bagaimana jawabanmu terhadap seruan para Rasul?”
(QS al Qashash : 65)
Ayat ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allâh Ta'âla? Apakah kita mentauhidkan Allâh Ta'âla dalam beribadah? Apakah kita mengikhlaskan setiap amal ibadah karenaNya? Hal ini merupakan perkara besar yang akan ditanyakan oleh Allâh kepada seluruh hambaNya. Adapun pertanyân yang kedua, apakah kita ittiba‘ (mengikuti/meneladani) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ataukah tidak? Hal inipun merupakan pertanyaan besar yang akan ditanyakan Allâh Ta'âla kepada seluruh hambaNya pada Hari Kiamat. Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk ittiba‘ kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Billahi taufiq.
[1] | Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâhdalam kitab al Ushul ats Tsalatsah tentang makna Muhammadur Rasulullah. |
[2] | Al Qaulul Mufiid fi Adillati Tauhid, hlm. 35, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin ‘Ali al Yamani al Wash-shaabi al ‘Abdali, Cet. VII, Maktabatul Irsyaad- Shan’a, Th. 1422 H. |
[3] | Syarah Ushul ats Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, al Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid. |
[4] | Majmu’ Fatâwa (XIX/93). |
[5] | Majmu’ Fatâwa (XIX/99). |
[6] | Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al Arna-uth (I/34), Cet. Muassassah ar Risalah, Th. 1415 H. |
Kiat-Kiat Mendapatkan Syafa'at[*]
(Oleh: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang dapat menolong seorang hamba, kecuali Allâh Ta'âla, kemudian amal-amal shalih yang dikerjakan seorang hamba, serta syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
Berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan seorang muslim untuk mendapatkan syafa’at, yaitu :
1. | Tauhid dan Mengikhlaskan Ibadah Kepada Allâh Ta'âla Serta Ittiba’ Kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. | |
Tidak diragukan lagi bahwa tauhid sebagai penyebab yang paling besar untuk mendapatkan syafa’at pada hari Kiamat. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam pernah ditanya: “Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?” Nabi menjawab :
“Yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah, orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata : “Syafa’at, sebabnya adalah tauhid kepada Allâh, dan mengikhlaskan agama dan ibadah dengan segala macamnya kepada Allâh. Semakin kuat keikhlasan seseorang, maka dia berhak mendapatkan syafa’at. Sebagaimana dia juga berhak mendapatkan segala macam rahmat. Sesungguhnya, syafa’at adalah salah satu sebab kasih sayang Allâh kepada hambaNya. Dan yang paling berhak dengan rahmatNya adalah ahlut tauhid dan orang-orang yang ikhlas kepadaNya. Setiap yang paling sempurna dalam mewujudkan kalimat ikhlas (laa ilaahaa illallaah) dengan ilmu, keyakinan, amal, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan, loyal kepada kalimat tauhid, memusuhi orang yang menolak kalimat ini, maka dia yang paling berhak dengan rahmat Allâh." (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, XIV/414 dengan ringkas). | ||
2. | Membaca al Qur‘an | |
Dari Abi Umamah bahwasanya dia mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
"Bacalah al Qur‘an.
| ||
3. | As-Shiyâm (Puasa) | |
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
As-Shiyam (puasa) dan al Qur‘an akan memberi syafa’at | ||
4. | Doa Setelah Adzan | |
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
Barangsiapa yang membaca ketika mendengar adzan : Maka dia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat”. | ||
5. | Tinggal di Madinah, Sabar Terhadap Cobaannya, dan Mati di Sana. | |
Abu Sa’id pernah mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah)
Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah
Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana. | ||
6. | Shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam | |
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, bahwasannya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku | ||
7. | Shalatnya Sekelompok Muslim Terhadap Mayit Muslim. | |
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh sekelompok orang Islam
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, | ||
8. | Memperbanyak Sujud | |
Dari Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami, dia berkata: “Aku pernah bermalam bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, lalu aku mendatangi beliau sambil membawa air untuk wudhu’ beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku : ’Mintalah!’ Aku berkata : ’Aku minta untuk dapat menemanimu di surga.’ kemudian beliau berkata : ‘Atau selain itu?’ Aku berkata : ’Itu saja.’ Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tolonglah aku atas dirimu dengan banyak bersujud”
Adapun pendapat sebagian orang, bahwa di antara sebab-sebab untuk bisa mendapatkan syafa’at adalah dengan ziarah ke kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang palsu, dan sama sekali tidak ada asalnya dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Seperti hadits, barangsiapa yang ziarah ke kuburku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku, dan masih banyak lagi yang lain. Jadi, ziarah kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam tidak termasuk faktor yang bisa menyebabkan seseorang untuk mendapatkan syafa’at, karena tidak adanya dalil-dalil yang shahih tentang masalah tersebut. |
[*] | Dari sub judul rubrik Mabhats Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX dengan judul "Kiat Mendapatkan Syafa'at Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam" |
Empat Orang Yang Dilaknat Allâh Ta'ala (*)
(Hadist: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.
Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)
Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),”
sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :
“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.
Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda beliau :
“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :
“Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh, maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh.
Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al-muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).
Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh, maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :
“Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)
Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)
Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.
Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”
Para sahabat bertanya,
”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.[2] Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.
Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”
Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :
“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau thaleh. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada kebenaran).[3]
(*) | Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi. |
[1] | Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi. |
[2] | Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang mereka ini : Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” |
Zuhud, Bermakna Hidup Seimbang
(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX)
Bicara masalah zuhud, mungkin yang tergambar dalam benak kita sesosok pribadi berpenampilan seadanya, bila tak disebut kumuh, lecek, kumal, tidak peduli dengan penampilan, dan bahkan memutuskan hubungan dengan dunia. atau sosok lain yang gandrung menyepi, baik di tempat keramat ataupun masjid saja, yang sebenarnya lebih pantas dijuluki sebagai pengangguran daripada dengan sebutan ahli ibadah. Seolah-olah dunia bukan bagian hidupnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah demikian ini pengejawantahan sikap zuhud dalam Islam. Bukankah sahabat Abdurrahman bin Auf radhiyallâhu'anhu merupakan saudagar yang kaya raya? Bukankah Abu Bakar radhiyallâhu'anhu sangat gemar membantu dan membebaskan para budak dengan harta bendanya? Atau lihat juga potret jutawan yang bernama Utsman bin Affan yang kontribusi materilnya sangat besar terhadap kaum muslimin? Di sisi yang lain kita menyaksikan kondisi Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang papa, sehingga beliau harus mengganjal perutnya? Atau juga sahabat Abu Dzar Al Ghiffari radhiyallâhu'anhu yang lari untuk menghindari kekuasaan? Apakah itu semua berarti adanya kontradiksi pola kehidupan di antara mereka, para sahabat Nabi tersebut?
Para sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ini, telah menjalani masa-masa kehidupannya dengan begitu cemerlang. Mereka –para sahabat– merupakan pribadi-pribadi yang terpuji. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menyebutnya sebagai generasi terbaik. Maka mereka pun menjadi orang-orang pilihan yang menjadi cermin nyata bagi generasi selanjutnya, sampai sekarang. Termasuk di dalamnya, kacamata mereka dalam memandang hakikat zuhud. Ini pun juga perlu menjadi rujukan oleh umat. Zuhud ternyata tidak mesti identik dengan ilustrasi keadaan yang seadanya dan “mengenaskan”.
Zuhud, sebagaimana diuraikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh:
“Meninggalkan rasa gemar terhadap perkara yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Yaitu perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk mendukung ketaatan kepada Allâh disertai sikap percaya penuh terhadap apa yang ada di sisi Allâh”.
Zuhud secara praktisnya tercermin pada pengekangan seorang hamba dari perkara haram, makruh, dan obyek yang mubah tetapi berlebihan, mengosongkan dunia dari godaan yang bersifat duniawi dan mewaspadai perkara yang masih bersifat syubhat, kabur status hukumnya. Lebih jelasnya, mari kita lihat firman Allâh Ta'âla di bawah ini:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allâh telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS Al Qashash : 77)
Ibnu Katsir rahimahullâh menjelaskan ayat ini dengan pernyataannya:
“Pergunakanlah karunia yang telah Allâh berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat. Firman Allâh ‘Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi’, yaitu segala sesuatu yang diperbolehkan Allâh, yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allâh mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya.”
Dengan spirit ayat di atas, Islam mengarahkan agar manusia hidup seimbang, tidak menutup mata dari kenikmatan dunia yang telah digelar, tidak pincang dengan menganaktirikan dunia yang pasti dibutuhkan, termasuk di dalamnya menyikapi perkembangan teknologi. Asalkan semua berguna bagi kehidupan akhirat.
Dengan memahami arti zuhud dengan benar, seorang muslim tidak terjebak pada provokasi orang sufi yang salah kaprah memahami makna zuhud; entah dengan cara menjauhi dunia secara totalitas, produk yang mubah, mengutamakan hidup “di bawah garis kemiskinan”, atau antipati terhadap hubungan suci antar lawan jenis yang disyariatkan (baca: pernikahan).
Sekali lagi, pemahaman yang menyimpang akan selalu menjadi bumerang buat setiap orang, meskipun ia telah didaulat sebagai ulama terdepan.
Sebaik-baik sepak terjang seorang hamba adalah yang senantiasa dipayungi dengan cahaya tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan seburuk-buruknya ialah yang berseberangan dengan Nur Ilahi yang sudah terpancar dan diimplementasikan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau.
(Oleh: Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali)
1. Hari Kiamat.
2. Apakah hari Kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti kupu-kupu yang bertebaran.
5. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya,
9. maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Surat yang mulia ini adalah makkiyah, dan ayat-ayatnya berjumlah sebelas ayat.[1]
Pada ayat yang pertama sampai ketiga, Allâh Ta'ala mengulang-ulang kata al-Qâri’ah (القَارِعَةُ). Diawali dengan kalimat pernyataan atau berita, kemudian dilanjutkan dengan dua kali kalimat pertanyaan. Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama, hal ini merupakan pengagungan Allâh Ta'ala terhadap betapa besar dan dahsyatnya hari Kiamat.[2]
Banyak penjelasan para ulama terhadap penafsiran makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), yang seluruhnya kembali kepada satu makna, yaitu as-Sa’ah (hari Kiamat).[3]
Secara lebih luas, Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullâh mengatakan:
"Telah dijelaskan oleh Syaikh[4] -semoga Allah merahmati kami dan beliau-pada awal surat al-Wâqi’ah[5] (الوَاقِعَةُ), bahwa (al-Wâqi’ah) bermakna seperti ath-Thâmmah[6] (الطَّامَّةُ), ash-Shâkh-khah[7] (الصَّاخَّةُ), al-Âzifah[8] (الآزِفَةُ), dan al-Qâri’ah[9] (القَارِعَةُ)… dan telah diketahui (dalam bahasa Arab) bahwa sesuatu apabila besar (dahsyat) keadaannya, ia memiliki banyak nama.
Atau sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Ali radhiyallâhu'anhu (ia berkata), banyaknya nama (pada sesuatu) menunjukkan agungnya perkara tersebut. Juga telah diketahui, bahwa nama-nama tersebut bukanlah sinonim, karena sesungguhnya setiap nama memiliki makna tersendiri. Hari Kiamat dinamakan al-Wâqi’ah (الوَاقِعَةُ), karena hari itu pasti kejadiannya. Juga dinamakan al-Hâqqah[10] (الحَاقَّةُ) karena hari itu nyata dan benar adanya. Juga dinamakan ath-Thâmmah (الطَّامَّةُ), karena bencana, malapetaka dan kehancuran pada hari itu sangat umum dan menyeluruh. Juga dinamakan al-Âzifah (الآزِفَةُ), karena kejadian hari itu sudah dekat, (hal ini) seperti iqtarabatis sa’ah[11] (اِقْتَرَبَتِ السَّعَةُ). Demikian pula surat ini (al-Qâri’ah, Pen).
Lafazh al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), berasal dari al-Qar’u (القَرْعُ) yang bermakna adh-Dharb (الضَّرْبُ), yakni pukulan. (Sehingga, penamaan hari Kiamat dengan nama ini) sesuai dengan penjelasan pada ayat berikutnya yang menerangkan, bahwa hari itu melemahkan seluruh kekuatan manusia, hingga manusia bagaikan kupu-kupu yang bertebaran, juga melumpuhkan kekuatan gunung-gunung, hingga gunung-gunung itu bagaikan bulu yang berhamburan.[12]
Dari penjelasan di atas, menjadi jelaslah bahwa makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ) adalah hari Kiamat, yang pada saat itu terjadi kehancuran, bencana, dan malapetaka yang amat besar. Makna ini, seperti ditunjukkan firman Allâh Ta'ala :
… dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana
disebabkan perbuatan mereka sendiri…
(Qs. ar-Ra’d/13:31)
Pada ayat keempat surat al-Qâri’ah ini, Allâh Ta'ala berfirman:
Pada hari itu manusia adalah seperti kupu-kupu yang bertebaran
Terdapat tiga pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan makna al-Farasy (الفَرَاشُ) pada ayat ini.
Pertama, maknanya ialah belalang-belalang kecil yang beterbangan dan saling bercampur-baur antara satu dengan lainnya.[13] Makna ini ditunjukkan oleh firman Allâh Ta'ala :
…seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.
(QS al-Qamar/54:7)
Kedua, maknanya ialah sejenis burung kecil atau serangga kecil, bukan nyamuk dan bukan pula lalat.[14]
Ketiga, maknanya ialah sesuatu yang berjatuhan dan bertebaran di sekitar api,[15] baik berupa nyamuk ataupun serangga-serangga kecil lainnya.[16]
Terdapat sebuah hadits shahih yang menunjukkan makna yang ketiga ini. Yaitu hadits Jabir bin Abdillah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seseorang yang menyalakan api,
lalu mulailah laron-laron dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu,
sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut.
Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian
agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka,
namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku”.[17]
Pada ayat kelima, Allâh Ta'ala berfirman:
Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan
Sebagian besar ulama menafsirkan lafazh al-‘Ihn (العِحْنُ) dengan makna ash-Shuf (الصُّوؤُ). Yaitu bulu atau kapas.[18]
Berdasarkan penjelasan ayat keempat dan kelima di atas, dapat kita pahami, salah satu kejadian yang dahsyat pada hari Kiamat adalah berubahnya keadaan manusia, sehingga ia bagaikan kupu-kupu atau belalang yang beterbangan, bertebaran dengan bercampur-baur dan tidak tentu arahnya. Demikian pula dengan gunung-gunung yang sebelumnya berdiri tegak dan kokoh, maka pada hari itu, gunung-gunung bagaikan bulu berhamburan. Seluruh makhluk Allâh Ta'ala yang kuat dan kokoh, pada saat itu kehilangan seluruh kekuatannya, karena demikian dahsyatnya hari Kiamat.[19]
Bentuk lain dahsyatnya hari Kiamat, disebutkan pula dalam firman Allâh Ta'ala :
(Qs. al-Hajj/22 : 1-2)
1. Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu!
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
2. (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya
dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil,
dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,
akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras.
Hari Kiamat itu, juga merendahkan satu golongan dan meninggikan yang lainnya. Firman Allâh Ta'ala :
(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).
(QS al Waqi’ah/56:3)
Pada hari itu, membuat seluruh manusia teringat segala yang pernah dilakukannya selama hidupnya di dunia. Allâh Ta'ala berfirman :
Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.
(QS an-Nazi’at/79:35)
Pada hari itu, seluruh manusia sibuk dengan urusannya, sampai-sampai ada yang lupa terhadap sanak familinya. Di antara manusia ada yang senang dan berseri-seri dengan sebab amal shalih yang mereka lakukan saat di dunia, yang akhirnya mengantarkannya ke surga. Tetapi sebagian lagi berwajah muram dan bersedih, disebabkan oleh amal-amal buruk yang telah mereka lakukan. Manusia pun mengetahui tempat mereka tinggal nantinya.[20]
Ditunjukkan dalam firman Allâh Ta'ala dalam surat ‘Abasa/80 ayat 34-42:
34. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
35. dari ibu dan bapaknya,
36. dari isteri dan anak-anaknya.
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
39. tertawa dan bergembira ria.
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
41. dan ditutup lagi oleh kegelapan.
42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
Demikianlah keadaan manusia pada hari Kiamat.
Adapun keadaan gunung-gunung secara khusus pada hari itu, sebagaimana dijelaskan para ulama,[21] mula-mulanya gunung-gunung digerakkan dan dipindahkan dari tempatnya, kemudian benar-benar diluluh-lantakkan bagaikan bulu-bulu yang dihambur-hamburkan, sebagaimana diterangkan pada ayat kelima surat al-Qari'ah ini, hingga akhirnya gunung-gunung itu menjadi debu yang bertebaran dan bahkan menjadi fatamorgana.
Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan,
dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.
(QS al Muzzammil/73:14)
Dan dijalankanlah gunung-gunung,
maka menjadi fatamorganalah ia.
(QS an Naba‘/78:20)
Maka, sudah seharusnya kita senantiasa bertakwa dan takut kepada Allâh Ta'ala, Yang Maha Perkasa dan Berkuasa atas segala sesuatu.
Pada ayat keenam, Allâh Ta'ala berfirman:
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya
Ayat ini menunjukkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkaitan dengan rukun iman kelima. Bahwa salah satu perwujudan beriman kepada hari akhir adalah meyakini adanya mizan (timbangan) pada hari Kiamat kelak. Barangsiapa yang berat amalan kebaikannya, maka akan mendapatkan kehidupan yang baik, dan demikian sebaliknya.[22]
Di antara dalil lainnya dari al Qur‘an yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada hari Akhir, yaitu firman Allâh Ta'ala , yang artinya:
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat,
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun,
dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya,
dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
(QS al-Anbiya‘/21:47)
Begitu pula banyak hadits shahih yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada Hari Akhir, sebagaimana hadits-hadits berikut ini.
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“(Ada) dua perkataan yang ringan, (namun) berat dalam mizan (timbangan)
dan dicintai oleh ar-Rahman (Allâh Ta'ala ),
(yaitu) Subhanallahi wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya),
Subhanallahil ‘Azhim (Maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.[23]
Hadits Abu ad-Darda’ radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam mizan (timbangan) dari akhlak yang baik.[24]
Pada ayat ketujuh, Allâh Ta'ala berfirman:
Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan
Para ulama menjelaskan, yang dimaksud dengan kehidupan yang memuaskan adalah kehidupan di surga.[25]
Banyak ayat yang menerangkan kehidupan yang penuh kenikmatan bagi para penghuni surga, di antaranya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Insan/76 ayat 10-22, yang artinya:
10. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari
yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
11. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu,
dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
12. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka
(berupa) surga dan (pakaian) sutera.
13. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan,
mereka tidak merasakan di dalamnya (terik) matahari
dan tidak pula dingin yang bersangatan.
14. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka
dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.
15. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak
dan piala-piala yang bening laksana kaca,
16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak
yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
17. Di dalam surga itu, mereka diberi minum segelas (minuman)
yang campurannya adalah jahe,
18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
19. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda,
apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan
20. Dan apabila kamu melihat di sana (surga),
niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal
dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak,
dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).
Dan masih banyak ayat lain yang menerangkan beragam kenikmatan yang diperoleh para penghuni surga. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita termasuk para penghuni surga-Nya. Amin.
Kemudian, pada ayat kedelapan sampai ayat terakhir, Allâh Ta'ala berfirman:
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Terdapat tiga penafsiran di kalangan para ulama terhadap makna ayat kesembilan.
Pertama, maknanya adalah, ia jatuh dan masuk ke dalam neraka dengan ujung kepalanya lebih dahulu.[26]
Kedua, ayat tersebut merupakan ungkapan dalam bahasa Arab, dilontarkan bagi orang yang terjatuh ke dalam permasalahan yang berat dan menyulitkan.[27]
Ketiga, maknanya, tempat tinggal dan kembalinya adalah neraka.[28] Sehingga, menurut penafsiran yang ketiga ini, hawiyah (هَاوِيَة) merupakan salah satu dari nama-nama neraka.[29]
Adapun sebab penamaan neraka ini dengan ummuhu (أُمُّهُ), yakni ibunya, karena neraka tersebut sebagai satu-satunya tempat kembalinya. Seolah-olah neraka tersebut adalah ibunya yang merupakan tempat kembalinya seorang anak.[30]
Tiga penafsiran para ulama di atas tidaklah saling bertentangan, bahkan saling mendukung dan menjelaskan makna lainnya.[31]
Terdapat sebuah hadits mauquf[32] yang menunjukkan tentang tiga penafsiran di atas, yaitu hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallâhu'anhu, beliau berkata :
Apabila seorang hamba telah mati,
ahlurrahmah (hamba-hamba Allah yang penuh kasih sayang)
menemuinya seperti orang-orang di dunia menemui pembawa berita gembira.
Mereka menghampirinya untuk menanyainya.
Lalu sebagian mereka berkata,
“Tunggulah saudara kalian ini, biarkan ia beristirahat, karena ia masih lelah”.
Lalu mereka pun menghampirinya dan bertanya kepadanya,
“Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulanah? Apakah ia sudah menikah?”.
Lalu tiba-tiba mereka bertanya tentang seseorang yang telah mati sebelumnya,
ia menjawab, “Ia telah binasa”.
Mereka berkata, “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un
(sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya),
ia telah kembali kepada ibunya (neraka),
sungguh itu seburuk-buruk ibu dan seburuk-buruk pendidik”.
Lalu ditunjukkanlah seluruh perbuatan mereka.
Jika mereka melihat amal mereka baik,
mereka gembira dan senang, lantas berkata,
“Inilah kenikmatan-Mu atas hamba-Mu, maka sempurnakanlah”.
Dan jika mereka melihat amal mereka buruk, mereka berkata,
“Ya Allah, lihatlah (periksalah) kembali hamba-Mu”.[33]
Ayat terakhir (kesebelas) surat yang agung ini, diterangkan oleh para ulama, juga merupakan penafsiran dari lafazh hawiyah ( ) pada ayat sebelumnya.[34]
Ada beberapa hadits shahih yang maknanya berkaitan erat dengan ayat terakhir ini, di antaranya sebagai berikut :
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Api kalian ini, yang dinyalakan manusia
hanyalah sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya neraka Jahannam”.
Mereka berkata: “Demi Allah, api ini sudah cukup (panas), wahai Rasûlullâh!”.
Beliau bersabda,”Sesungguhnya api neraka Jahannam lebih (panas) sebanyak enam puluh sembilan kali (dari api di dunia).
Tiap-tiap bagiannya sama panasnya”.[35]
Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya adzab penghuni neraka yang paling ringan pada hari Kiamat adalah,
seseorang diletakkan dua buah bara di tengah-tengah kedua telapak kakinya,
(lalu) mendidihlah otaknya disebabkan dua bara itu.”[36]
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apabila panas menyengat, maka undurkan shalat sampai waktu sejuk,
karena sesungguhnya panas yang menyengat berasal dari hawa Jahannam”.[37]
Mudah-mudahan Allâh Ta'ala senantiasa melindungi dan menjauhkan kita dari segala hal yang dapat mengantarkan kepada panasnya api neraka Jahannam.
Demikianlah tafsir surat al-Qâri’ah, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menambah iman, ilmu dan amal shalih kita. Wallahu A’lam bish- Shawab.
[1] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152), Zadul Masir (9/213), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), |
[2] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152-153), Zadul Masir (8/345-346), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
[3] | Di antaranya adalah al Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya (30/340), beliau membawakan beberapa riwayat dengan sanad-sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, Qatadah, dan Waki’. Mereka semua mengatakan bahwa makna al-Qâri’ah ( ) adalah as-Sa’ah ( ), yakni hari Kiamat. |
[4] | Maksudnya adalah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullâh (1320-1393 H). |
[5] | Surat al Waqi’ah/56 ayat 1. |
[6] | Surat an Nazi’at /79 ayat 34. |
[7] | Surat ‘Abasa/80 ayat 33. |
[8] | Surat an Najm/53 ayat 57. |
[9] | Surat al-Qâri’ah/101 ayat 1-3. |
[10] | Surat al Haqqah/69 ayat 1-3. |
[11] | Surat al-Qamar/54 ayat 1. Yang artinya, telah dekat saat itu (yakni, hari Kiamat). |
[12] | Adhwa’ul-Bayan (9/70). |
[13] | Lihat al-Jami’ li Ahkamil-Qur‘an (20/152), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
[14] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[15] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341). Al-Imam ath-Thabari berkata dengan pendapat ini. |
[16] | Lihat Zadul Masir (9/214). |
[17] | HR Muslim (4/1790 no. 2285), dan lain-lain. Hadits ini dibawakan pula oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullâh di dalam tafsirnya (20/153). Lihat pula Adhwa’ul-Bayan (9/71-72). |
[18] | Lihat Tafsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/153), Zadul Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[19] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[20] | Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/325-327), surat ‘Abasa/80 ayat 34-42. |
[21] | Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), Zadul-Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71), Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192). |
[22] | Lihat contohnya dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, halaman (240), dan Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (2/636-640) untuk pembahasan lebih luas dalam masalah ini. |
[23] | HR al Bukhari (5/2352, 6/2459, 2749), Muslim (4/2072 no. 2694), dan lain-lain. |
[24] | HR Abu Dawud (4/253 no. 4799), at-Tirmidzi (4/362-363 no. 2002, 2003) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al- Albani. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah (2/535 no. 876). |
[25] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192). |
[26] | Demikian pendapat Abu Shalih, Qatadah, dan Ikrimah. Lihat pula Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
Ini juga pendapat Qatadah. Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342). | |
Ini pendapat Ibnu Zaid, al Farra’, Ibnu Qutaibah, dan az-Zajjaj. Pendapat ini didukung oleh al Imam Ibnul Jauzit di dalam tafsirnya, Zadul-Masir (9/215). | |
Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Adhwa’ul-Bayan (9/74). | |
Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342) dan al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154). | |
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74). | |
Yaitu hadits yang hanya sampai pada sahabat, tidak sampai pada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. | |
Syaikh al-Albani rahimahullâh di dalam as-Silsilah ash-Shahihah (6/604-607 no. 2758) berkata, “(Hadits ini) dikeluarkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (149/443)..., ath-Thabrani dalam al- Mu’jamul-Kabir (4/153-154/3887-3888)..., al-Hakim (2/533)...”. | |
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74). | |
HR al-Bukhari (3/1191), Muslim (4/2184 no. 2843), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. | |
HR al Bukhari (5/2400), Muslim (1/196 no. 213), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. | |
HR al Bukhari (1/198, 199), Muslim (1/430 no. 615), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. |
(Oleh: Ustadz Ashim Bin Musthafa)
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar,
dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
(Qs. Fâthir/35:31)
AL-QUR‘AN MERUPAKAN KEBENARAN DARI ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Al-Qur‘ân yang diwahyukan kepada Rasul-Nya adalah kebenaran. Muatan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur‘ân memberikan pengertian bahwa seluruh perkara dan urusan yang telah tertera di dalamnya, baik dalam masalah ilahiyyat (aqidah tentang Allâh Ta'ala), perkara-perkara ghaib, maupun perkara-perkara lainnya adalah persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Al-Qur‘ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur‘ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul (sebelum Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur‘ân. Pasalnya, pengingkaran orang tersebut kepada Al-Qur‘ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya (karena berita tentang Al-Qur‘ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut).
Ditambah lagi, keterangan-keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya tersebut bersesuaian dengan apa yang tertera di dalam Al-Qur‘ân. Misalnya, Allâh Ta'ala memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya.
Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dahulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh tentang ayat ke 31 dari surat Fâthir.[1]
TIGA GOLONGAN KAUM MUSLIMIN
Allâh Ta'ala mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Pilihan Allâh Ta'ala kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]
Secara khusus, Allâh Ta'ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur‘ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]
Allâh Ta'ala menggolongkan orang-orang yang menerima Al-Qur‘ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Golongan terakhir disebut sâbiqun bil-khairât.
Golongan Pertama : (zhâlim linafsihi)
Makna zhâlim linafsihi merupakan sebutan bagi orang-orang muslim yang berbuat taqshîr (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar.[4] Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allâh Ta'ala, akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut:[5]
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs. at-Taubah/9: 102)
Golongan Kedua: (al-muqtashid)
Orang-orang yang termasuk dalam istilah ini, ialah mereka yang taat kepada Allâh Ta'ala tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu.[6] Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.[7]
Golongan Ketiga: (sâbiqun bil-khairât)
Kelompok ini berciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allâh Ta'ala dan menjauhi muharramât (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang bukan wajib (sunnat) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh Ta'ala.[8] Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, amalan-amalan sunnah lagi menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.[9]
Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sehingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]
JANJI BAIK DARI ALLAH TA'ALA KEPADA TIGA GOLONGAN TERSEBUT
Kemudian Allâh Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menjanjikan Jannatun-Na’im terhadap tiga golongan itu, dan Allâh Ta'ala tidak memungkiri janji-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya,
di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.
(Qs. Fâthir/35:33)
Janji Allâh Ta'ala berupa Jannatun-Na’îm kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh golongan zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur‘ân. Yaitu ayat Al-Qur‘ân yang sangat membekaskan sikap optimisme yang sangat kuat pada umat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya (surat Fâthir/35 ayat 36-37).
Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allâh Ta'ala mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allâh Ta'ala, maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan golongan kedua yang jumlahnya lebih dominan adalah orang-orang yang amalannya buruk.
Allâh Ta'ala berfirman:
… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.
Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)
MENGAPA ZHÂLIMUN LINAFSIHI DIDAHULUKAN PENYEBUTANNYA DALAM AYAT?
Mengapa golongan zhâlim linafsihi dikedepankan dalam memperoleh janji Jannatun-Na’iim dibandingkan dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sâbiqun bil-khairât), padahal merupakan tingkatan manusia yang terendah dari tiga golongan yang ada? Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputus-asaan dari rahmat Allâh Ta'ala, dan golongan sâbiqun bilkhairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allâh Ta'ala :
… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini…
(Qs. Shâd/38:24)
Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullâh telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[12]
PELAJARAN DARI AYAT
1. Tingginya kemuliaan umat Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan memperoleh anugerah kitab Al-Qur‘an yang memuat kebenaran dan hidayah kitab Injil dan Taurat.
2. Luasnya rahmat Allâh Ta'ala bagi umat Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
3. Kaum muslimin terbagi menjagi tiga tingkatan dalam beramal.
4. Pentingnya berlomba-lomba dalam kebajikan.
5. Orang yang berbuat dosa selain kufur dan syirik tidak kekal di neraka.
6. Penjelasan mengenai kenikmatan penghuni surga.
Wallahu a’lam.
Marâji‘:
1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur‘ân bil-Qur‘ân, Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
4. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dâr Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
5. Kutub wa Rasâ‘il, Min Kunûzil-Qur‘anil-Karîm, ‘Abdul- Muhsin al-Abbâd al-Badr.
6. Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426 H- 2005 M.
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as- Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
[1] | Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 689. |
[2] | Ibid., 689. |
[3] | Al-Aisar, 2/1061-1062. |
[4] | Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/568), al-Aisar (1062). |
[5] | Adhwâul Bayân (6/164). |
[6] | ibid |
[7] | Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, 6/568, |
[8] | Adhwâul Bayân ( 6/164) |
[9] | Al-Aisar, 2/1062. |
[10] | Silahkan lihat al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân, 14/302-303. |
[11] | Kutub wa Rasâ‘il, Min Kunûzil-Qur‘anil-Karîm, 1/282. |
[12] | Silahkan lihat Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân, 14/304. |
(Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthafa, Lc.)
Allâh Ta'ala berfirman:
“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka).
Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”
(Qs Maryam/19: 71-72)
Penjelasan dari Ayat
Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allâh Ta'ala kepada seluruh makhluk, baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukminin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allâh Ta'ala dan janji-Nya kepada para hamba-Nya. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu dan Allâh Ta'ala pasti akan merealisasikannya.
Yang perlu diketahui, Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian kata al-wurûd (mendatangi neraka) dalam ayat tersebut. Sebagian Ulama menyatakan, maksudnya neraka dihadirkan di hadapan segenap makhluk, sehingga semua orang akan merasa ketakutan. Setelah itu, Allâh Ta'ala menyelamatkan kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Atau menurut penafsiran yang lain, semua makhluk akan memasukinya. Akan tetapi bagi kaum Mukminin meskipun mereka memasukinya, neraka akan menjadi dingin dan keselamatan bagi mereka. Di samping itu, terdapat penafsiran lain yang memaknai kata al-wurûd dengan mendekati neraka. Dan ada pula yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah panas badan yang dialami kaum Mukminin saat menderita sakit panas.
Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan bahwa penafsiran paling populer mengenai ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, semua orang akan memasuki neraka, akan tetapi kaum Mukminin tidak mengalami bahaya. Kedua, semua orang akan melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya. Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Jadi, orang yang melewatinya dikatakan telah mendatangi neraka. Penafsiran ini dinukil Ibnu Katsîr rahimahullâh dari Ibnu Mas’ûd radhiallâhu'anhu.
Dari dua pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh (wafat tahun 792 H) memandang bahwa pendapat kedua itulah yang paling kuat dan râjih.
Beliau berkata,
“Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian al-wurûd dalam firman Allah Surat Maryam ayat 71, manakah pendapat yang benar? Pendapat yang paling jelas dan lebih kuat adalah melintasi shirâth.”
Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh berhujjah dengan ayat selanjutnya (Qs Maryam/19:72) dan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullâh dalam kitab Shahihnya no. 6354.
Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda saat berada di samping Hafshah radhiallâhu'anha,
“Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon (ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah, red) yang akan masuk neraka”.
Hafshah (dengan merasa heran) berkata,
“Mereka akan memasukinya wahai Rasulullah”.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam pun menyanggahnya. Kemudian Hafshah radhiallâhu'anha berdalil dengan membaca ayat di atas (Qs Maryam/19: 71).
(Mendengar ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam kemudian (mendudukkan masalah seraya) bersabda:
“Sungguh Allah telah berfirman setelahnya: Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut)”.
(Qs Maryam/19: 72)
Usai mengetengahkan hadits di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullâh mengatakan bahwa Beliau (Rasulullah) Shallallahu 'Alaihi Wassallam mengisyaratkan (dalam hadits tersebut) bahwa maksud al-wurûd (mendatangi neraka) tidak mesti memasukinya.
Selamatnya (seseorang) dari mara bahaya tidak mesti ia telah mengalaminya. Seperti halnya seseorang yang dikejar musuh yang hendak membunuhnya, namun musuh tidak sanggup menangkapnya, maka untuk orang yang tidak tertangkap ini bisa dikatakan Allah telah menyelamatkannya.
Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya:
· "Dan ketika adzab Kami datang, Kami selamatkan Hûd..." (Qs. Hûd /11:58),
· "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh..." (Qs. Hûd /11:66),
· "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib..." (Qs. D /11:94).
Siksa Allâh Ta'ala tidak ditimpakan kepada mereka, akan tetapi menimpa orang selain mereka. Jika tidak ada faktor-faktor keselamatan yang Allâh Ta'ala anugerahkan bagi mereka secara khusus, niscaya siksa akan menimpa mereka juga. Demikian pula pengertian al-wurûd (mendatangi neraka), maksudnya adalah orang-orang akan melewati neraka dengan melintasi shirâth, kemudian Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut”
Senada dengan keterangan di atas, sebelumnya Imam Nawâwi rahimahullâh (wafat tahun 676 H) pun merâjihkan arti kata al-wurûd adalah menyeberangi shirâth. Beliau rahimahullâh berkata saat menerangkan hadits Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha:
“Yang benar, maksud al-wurûd (mendatanginya) dalam ayat (Qs Maryam/19:71) adalah melewati shirâth. Shirâth adalah sebuah jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam. Para penghuni neraka akan terjatuh ke dalamnya. Sementara selain mereka akan selamat”.
Dalam kitab al-Jawâbuss Shahîh (1/228), Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh juga merâjihkan bahwa pengertian al-wurûd adalah menyeberangi shirâth.
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafizhahullâh juga memilih pendapat ini dalam tafsirnya.
Orang-orang yang Bertakwa Selamat Melintasi Shirâth
Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka. Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat menyeberanginya.
Syaikh as-Sa’di rahimahullâh mengatakan:
“Orang-orang menyeberanginya sesuai dengan kadar amaliahnya (di dunia). Sebagian melewatinya secepat kedipan mata, atau secepat angin, atau secepat jalannya kuda terlatih atau seperti kecepatan larinya hewan ternak. Sebagian (menyeberanginya) dengan berlari-lari, berjalan atau merangkak. Sebagian yang lain tersambar dan terjerumus jatuh di dalam neraka. Masing-masing sesuai dengan kadar ketakwaannya. “
Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) dan membiarkan orang-orang zhalim (yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan kekufuran dan maksiat) di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”
Semoga Allâh Ta'ala dengan Rahmat dan Kasih-Nya berkenan menyelamatkan kita sekalian dari neraka.
Pelajaran Dari Ayat
· Mengandung penetapan kewajiban mengimani keberadaan neraka.
· Penetapan kewajiban mengimani shirâth.
· Penetapan kepastian menyeberangi jembatan di atas neraka.
· Ketetapan Allâh Ta'ala pasti terjadi.
· Orang-orang bertakwa akan selamat dari siksa neraka.
· Orang-orang fâjir (berbuat jahat) akan binasa karena kesyirikan dan maksiat mereka.
Wallâhu a’lam.
Apa Yang Harus Dilakukan Makmum?
PERTANYAAN :
Jika ada seorang imam batal wudhu'nya pada rakaa'at keempat, kemudian dia diganti oleh makmum yang masbuk yang mendapati imam pada raka'at ketiga. Pertanyaannya, bagaimana dengan makmum yang mengikuti imam pertama sejak raka'at pertama dan kedua? Apakah makmum ini boleh salam sebelum imam yang kedua ini salam?
Ataukah mereka diperbolehkan menambah jumlah raka'at dalam rangka mengikuti imam kedua, lalu salam bersamanya; ataukah mereka duduk menunggu sampai imam yang kedua ini bisa menyempurnakan empat raka'at, kemudian baru salam bersamanya setelah raka'at keempat tanpa menambah jumlah raka'at juga tidak salam sebelumnya. Bagaimana hukum shalat dalam kondisi seperti ini?
Mohon penjelasannya disertai dalil! Semoga Allah Ta'ala memberikan balasan kebaikan kepada kalian di dunia dan akhirat.
JAWABAN
Jika kejadiannya sebagaimana yang disebutkan, maka makmum yang mengikuti imam pertama sejak raka'at pertama dan kedua tidak boleh ikut berdiri bersama imam kedua ketika sang imam hendak berdiri untuk menyempurnakan shalat. Sebaliknya, mereka harus duduk, karena mereka sudah melaksanakan shalat empat raka'at dan itulah kewajibannya, namun mereka juga tidak boleh salam sebelum imamnya salam. Berdasarkan riwayat dari Rasulullâh Sallallahu 'Alaihi Wassallam yang bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ اْلإمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
"Imam itu dijadikan untuk diikuti "
(Muttafaq 'alaih)
Juga sabda Rasulullâh Sallallahu 'Alaihi Wassallam :
إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ وَلاَ بِالْقِيَامِ وَلاَ بِاْلاِ نْصِرَافِ
"Sesungguhnya saya adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku ruku', sujud, berdiri juga salam"
(HR Muslim dalam kitab shahîh-nya)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
(Diterjemahkan dari Fatâwa al-Lajnatid Dâimah lil Buhûtsil 'Ilmiyyah Wal Iftâ', 7/397)
Al-Lajnatud D âimah lil Buhûtsil 'ilmiyyah Wal Iftâ'
Ketua: Syaikh Abdul Azîz bin `Abdullâh bin Bâz
Wakil : Syaikh `Abdurrazâq 'Afîfy
Anggota : Syaikh `Abdullâh bin Ghadyân dan Syaikh `Abdullâh bin Qu'ûd 7/397
Sikap Seorang Mukmin Dalam Menghadapi Musibah
(Oleh: Ustadz Abdullâh bin Taslîm Al-Buthoni)
Sebagai hamba Allâh Ta'ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.
Allâh Ta'ala berfirman:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya),
dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan
(Qs al-Anbiyâ’/21:35)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.[1]
KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN BERTAKWA KEPADA ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.
Allâh Ta'ala berfirman:
Hai orang-orang beriman,
penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya
yang mengajak kamu kepada suatu
yang memberi (kemaslahatan)[2] hidup bagimu
(Qs al-Anfâl/8:24)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”[3].
Allâh Ta'ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya.
(Jika kamu mengerjakan yang demikian),
niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia)
sampai kepada waktu yang telah ditentukan
dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang
yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)”
(Qs Hûd/11:3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta'alamenyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [4]
SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI MASALAH
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta'ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta'ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta'ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta'ala dalam firman-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang)
kecuali denga izin Allâh;
barang siapa yang beriman kepada Allâh,
niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya.
Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta'ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta'ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta'ala tersebut, maka Allâh Ta'ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta'ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâh Ta'ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta'ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta'ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan”
(Qs an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta'ala."[6]
HIKMAH COBAAN
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta'ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta'ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta'ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini, Allâh Ta'ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta'ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.[7]
Maknanya: Allâh Ta'ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta'ala.[8]
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
1. | Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta'ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta'ala[9]. |
2. | Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta'alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10] Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”[11]
|
3. | Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta'ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta'ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12] Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : ”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”[13] |
PENUTUP
Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta'ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“Dan Allâh Ta'ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta'ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya.
Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).
Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]
[1] | Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah). |
[2] | Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34). |
[3] | Kitab Al-Fawâ-id (hal 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’) |
[4] | Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi). |
[5] | Tafsîr Ibnu Katsîr (8/137) |
[6] | Ighâtsatul Lahfân (hal 421-422 – Mawâridul Amân) |
[7] | HR al-Bukhâri (no 7066- cet. Dâru Ibni Katsîr) dan Muslim (no 2675) |
[8] | Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/312) dan Tuhfatul Ahwadzi (7/53) |
[9] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 422 – Mawâridul Amân) |
[10] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 424 – Mawâridul Amân) |
[11] | HR Muslim (no 2999) |
[12] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul lahfân (hal 423 – Mawâridul amân), dan imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (hal 461- cet. Dâr Ibni Hazm). |
[13] | HR al-Bukhâri (no. 6053) |
[14] | Kitab Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi) |
Sudahkah Anda Merasakan Manfaat Shalat?
(Oleh: Ustadz Mochamad Taufiq Badri)
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sebuah ibadah mulia yang mempunyai peran penting bagi keislaman seseorang. Sehingga Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengibaratkan shalat seperti pondasi dalam sebuah bangunan.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Islam dibangun di atas lima hal:
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allâh
dan Nabi Muhammad adalah utusan Allâh,
menegakkan shalat….
(HR Bukhâri dan Muslim)
Oleh karena itu, ketika muadzin mengumandangkan adzan, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah-rumah Allâh Ta'ala, mengambil air wudhu, kemudian berbaris rapi di belakang imam shalat mereka. Mulailah kaum muslimin tenggelam dalam dialog dengan Allâh Ta'ala dan begitu khusyu’ menikmati shalat sampai imam mengucapkan salam. Dan setelah usai, masing-masing kembali pada aktifitasnya.
Timbul pertanyaan, apakah masing-masing kaum muslimin sama dalam menikmati shalat ini? Apakah juga mendapatkan hasil yang sama? Perlu kita ketahui bahwa setiap amal shalih membawa pengaruh baik kepada pelaku-pelakunya. Pengaruh ini akan semakin besar sesuai dengan keikhlasan dan kebenaran amalan tersebut. Dan pernahkah kita bertanya, “Apakah manfaat dari shalatku?” atau “Sudahkah aku merasakan manfaat shalat?”
Imam Hasan al-Bashri rahimahullâh pernah mengatakan:
“Wahai, anak manusia. Shalat adalah perkara yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat”.[1]
Dari nasihat beliau ini, kita bisa memahami bahwa shalat yang dilakukan secara benar akan membawa pengaruh positif kepada pelakunya. Dan pada kesempatan ini, marilah kita mempelajari manfaat-manfaat shalat. Kemudian kita tanyakan kepada diri sendiri, sudahkah aku merasakan manfaat shalat?
1. Shalat adalah simbol ketenangan.
Shalat menunjukkan ketenangan jiwa dan kesucian hati para pelakunya. Ketika menegakkan shalat dengan sebenarnya, maka diraihlah puncak kebahagiaan hati dan sumber segala ketenangan jiwa.
Dahulu, orang-orang shalih mendapatkan ketenangan dan pelepas segala permasalahan ketika mereka tenggelam dalam kekhusyu’kan shalat. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullâh dalam Sunan-nya:
Suatu hari ‘Abdullah bin Muhammad al- Hanafiyah rahimahullâh pergi bersama bapaknya menjenguk saudara mereka dari kalangan Anshar. Kemudian datanglah waktu shalat. Dia pun memanggil pelayannya, ”Wahai pelayan, ambillah air wudhu! Semoga dengan shalat aku bisa beristirahat,” Kami pun mengingkari perkataannya. Dia berkata: “Aku mendengar Nabi Muhammad bersabda, ’Berdirilah ya Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!’.”[2]
Marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkah ketenangan seperti ini kita dapatkan dalam shalat-shalat kita? Sudah sangat banyak shalat yang kita tunaikan, tetapi pernahkah kita berfikir manfaat shalat ini? Atau rutinitas shalat yang kita tegakkan sehari-hari?
Suatu ketika seorang tabi’in yang bernama Sa’id bin Musayib rahimahullâh mengeluhkan sakit di matanya. Para sahabatnya berkata kepadanya: “Seandainya engkau mau berjalan-jalan melihat hijaunya Wadi ‘Aqiq, pastilah akan meringankan sakitmu,” tetapi ia menjawab: “Lalu apa gunanya aku shalat ‘Isya` dan Subuh?”[3]
Demikianlah, generasi terdahulu dari umat ini memposisikan shalat dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, shalat adalah obat bagi segala problematika. Dengan hati yang ikhlas mereka menunaikan shalat, sehingga jiwa menuai ketenangan dan mendapatkan kebahagiaan.
2. Shalat adalah cahaya.
Ambillah cahaya dari shalat-shalat kita. Ingatlah, cahaya shalat bukanlah cahaya biasa. Dia cahaya yang diberikan oleh Penguasa alam semesta ini. Diberikan untuk menunjuki manusia ke jalan yang lurus, yaitu jalan ketaatan kepada Allâh Rabul ‘alamin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullâh, dari sahabat Abu Mâlik al-’Asy’ari radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: (dan shalat itu adalah cahaya).
Oleh karena itu, marilah menengok diri kita, sudahkah cahaya ini menerangi kehidupan kita? Dan sungguh sangat mudah jika kita ingin mengetahui apakah shalat telah mendatangkan cahaya bagi kita? Yakni dapat lihat, apakah shalat membawa ketaatan kepada Allâh dan menjauhkan kita dari bermaksiat kepada-Nya? Jika sudah, berarti shalat itu telah menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Inilah cahaya awal yang dirasakan manusia di dunia. Dan kelak di akhirat, ia akan menjadi cahaya yang sangat dibutuhkan, yang menyelamatkannya dari berbagai kegelapan sampai mengantarkannya kepada surga Allâh Ta'ala .
3. Shalat sebagai obat dari kelalaian.
Lalai adalah penyakit berbahaya yang menimpa banyak manusia. Lalai mengantarkan manusia kepada berbagai kesesatan, bahkan menjadikan manusia tenggelam di dalamnya. Mereka akan menanggung akibat dari kelalaian yang mereka alami di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga lalai menjadi penutup yang menutupi hati manusia. Hati yang tertutup kelalaian, menyebabkan kebaikan akan sulit sampai padanya. Tetapi menegakkan shalat sesuai dengan syarat dan rukunnya, dengan menjaga sunnah dan khusyu di dalamnya, insya Allâh akan menjadi obat paling mujarab dari kelalaian ini, membersihkan hati dari kotoran-kotorannya. Allâh Ta'ala berfirman:
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
(Qs. al-A’ra/7:205)
Berkata Imam Mujahid rahimahullâh:
“Waktu pagi adalah shalat Subuh dan waktu petang adalah shalat ‘Ashar”.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Barang siapa yang menjaga shalat-shalat wajib,
maka ia tidak akan ditulis sebagai orang-orang yang lalai.[4]
4. Shalat sebagai solusi problematika hidup.
Sudah menjadi sifat dasar manusia ketika dia tertimpa musibah dan cobaan, dia akan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Maka tidak ada cara yang lebih manjur dan lebih hebat dari shalat. Shalat adalah sebaik-baik solusi dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan kesulitan hidup. Karena tidak ada cara yang lebih baik dalam mendekatkan diri seseorang dengan Rabb-nya kecuali dengan shalat. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya mengucapkan:
Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya yaitu ketika dia sujud,
maka perbanyaklah doa.
(HR Muslim)[5]
Inilah di antara manfaat shalat yang sangat agung, mendekatkan hamba dengan Dzat yang paling ia butuhkan dalam menyelesaikan problem hidupnya. Maka, kita jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jangan sampai kita lalai dalam detik-detik shalat kita. Jangan pula terburu-buru dalam shalat kita, seakan tidak ada manfaat padanya. Shalat bisa menjadi sarana menakjubkan untuk mendatangkan pertolongan dan dukungan Allâh Ta'ala.
Dalam kisah Nabi Yunus 'alaihissalam, Allâh Ta'ala menceritakan:
Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orangorang yang banyak mengingat Allâh,
niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.
(Qs. ash-Shafât/37:143-144)
Sahabat Ibnu ‘Abbas rahimahullâh menafsirkan “banyak mengingat Allâh”, yaitu, beliau termasuk orang-orang yang menegakkan shalat.[6]
Sahabat Hudzaifah radhiyallâhu'anhu pernah menceritakan tentang Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
Dahulu, jika Nabi n tertimpa suatu urusan, maka beliau melaksanakan shalat.
(HR Abu Dawud)[7]
5. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Sebagaimana telah kita fahami, bahwasanya shalat akan membawa cahaya yang menunjukkan pelakunya kepada ketaatan. Bersamaan dengan itu, maka shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana hal ini difirmankan Allâh Ta'ala :
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur‘an)
dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).
Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Qs. al-Ankabût/29:45)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan:
“Dalam shalat terdapat larangan dan peringatan dari bermaksiat kepada Allâh”.[8]
6. Shalat menghapuskan dosa.
Selain mendatangkan pahala bagi pelakunya, shalat juga menjadi penghapus dosa, membersihkan manusia dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apa pendapat kalian,
jika di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai (mengalir);
dia mandi darinya lima kali dalam sehari, apakah tersisa kotoran darinya?”
Para sahabat menjawab: “Tidak akan tertinggal kotoran sedikitpun”.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Demikianlah shalat lima waktu,
Allâh Ta'ala menghapuskan dengannya kesalahan-kesalahan”.
(HR Bukhâri dan Muslim)
Inilah sebagian manfaat shalat yang tak terhingga banyaknya, dari yang kita ketahui maupun yang tersimpan di sisi Allâh Ta'ala. Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan diri kita masing-masing, sudahkah di antara manfaat-manfaat tersebut yang kita rasakan? Ataukah kita masih menjadikan shalat sebagai salah satu rutinitas hidup kita? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dicela Allâh dalam firman-Nya:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
(Qs. al-Mâ’ûn/107:4-5)
Semoga Allâh Ta'ala memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hambanya yang menegakkan shalat, dan memetik buahnya dari shalat yang kita kerjakan.
Seharusnya Kita Selalu Menangis
(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)
Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis
karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya.
Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.[1]
MENGAPA HARUS MENANGIS?
Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya
seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung,
dia khawatir gunung itu akan menimpanya.
Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya
seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya,
dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.
(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)
Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.
(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)
Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab
penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim.
Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras.
Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat.
Hari Kiamat itu adalah suatu hari
dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya,
dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.
Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya;
maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)”.
(Qs Hûd/11:102-106)
Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu.
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
(Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya,
dan semua wanita yang hamil gugur kandungan.
Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.
Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras”.
(Qs al-Hajj/22:1-2)
Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap
kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya.
Mereka mengatakan:
“Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga,
kami merasa takut (akan diadzab)”.
Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami
dan memelihara kami dari azab neraka.
Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang”.
(Qs ath-Thûr/52:25-28)
ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLÂH TA'ALA
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak,
ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah Ulama.
Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(Qs Fâthir/35:28)
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Surga dan neraka ditampakkan kepadaku,
maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini.
Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.
Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan,
“Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu.
Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan”.
(HR. Muslim, no. 2359)
Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
“Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.
(Syarh Muslim, no. 2359)
Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.
Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)
Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:
“Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh
daripada dua tetesan dan dua bekas.
Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh
dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh.
Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh
dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban
dari kewajiban-kewajiban-Nya”.
Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh
pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ......
(di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh
di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.
(HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)
Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,
“Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".
Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”,
yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala,
badannya juga kosong (dari orang lain),
dan tidak ada seorangpun di dekatnya
yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah.
Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”.
(Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)
Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Wallâhul Musta’ân.
[1] | HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ‘i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. |
(Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi)
Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat kondisi ini perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif syariat.
MEMELIHARA ANJING
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa suatu kebutuhan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan.
Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”[1]
‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth. [2]
Demikian juga Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa memelihara anjing,
maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth,
selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]
Ibnu Sîrîn rahimahullâh dan Abu Shâleh rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan,
Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu
Abu Hâzim rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.”
(HR. al-Bukhâri)
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”
(HR. Muslim 2940)
Iman An-Nawâwi rahimahullâh memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman.[4]
NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian,
maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali.[5]
Dalam riwayat lain:
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu bahwa Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali,
salah satunya dengan tanah”
(HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427)
Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan,
“Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.[6]
HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7]
Yang demikian itu didasarkan pada keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd radhiyallâhu'anhu. Beliau berkata:
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]
HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
1) | Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya: | ||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||
2) | Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi: | ||||||||||||||||
| | ||||||||||||||||
| Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing, | ||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||
| Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : | ||||||||||||||||
| | ||||||||||||||||
| Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu | ||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||
3) | Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allâh Ta'ala : | ||||||||||||||||
| | ||||||||||||||||
| Katakanlah, | ||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||
| Ayat di atas adalah ayat Makiyah, yang turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah, al-Washîlah dan al-Hâm. Kemudian setelah itu Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang bertaring. Ayat di atas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan. |
Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring, beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang menyatakan,
“Semua yang sudah jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru, maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama.[13]
Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan mempengaruhi dagingnya. Padahal Rasululâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[14]
Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua dapat membantu menjelaskan permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing.
Maraji':
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah
( Sumber : Tazkiyatun Nufus: Majalah As-Sunnah Edisi 06-07 Tahun XIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar