Aliansi
Wahabi & Dinasti Al-Saud I
Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi
Imperium
Usmaniyah & Jazirah Arabia
Oleh: Syamsurizal Panggabean
Oleh: Syamsurizal Panggabean
Secara
nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi
Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU).
KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada
awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan
Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah
Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah
Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU
dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan
tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak
pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula,
konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan
dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun
Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik
bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya
menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Dir`iyyah
dan `Uyaynah, Najd
Salah
satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil ? paling-paling 70
keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak.
Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765)
dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur
di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman
dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya,
penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.
Kendati
demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut
Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak
memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan
al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang
kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka
? dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan ? tidak seberapa besar.
Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun
pemukiman-pemukiman lain terbatas.
Nasib
mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini,
Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd,
yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya.
Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma,
dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa
(di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia
kembali ke `Uyaynah.
Amir
`Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al-
Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama
kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang
yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh,
dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas.
Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan
banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad
ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya
meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn
Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.
Aliansi
al-Wahhab-al-Sa`ud
Muhammad
ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari
musuh-musuhnya.
Muhammad
ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ?Oasis ini
adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmu. Demi Allah, walaupun seluruh
Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.? Muhammad ibn Abd
al-Wahhab membalas, ?Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang
bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad
terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam,
pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.?
(Al-Rasheed, 2002: 17).
Pada
tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara
sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab
menjadi imam ? dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua
Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah
dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur
jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti
menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).
Al-Rasheed
menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab
mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber
legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab
menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan
pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga
memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin
menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.
Gerakan
Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku
di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan
menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di
Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan
proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah
mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir ?
biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan
kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).
Kelompok-kelompok
suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad
menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan
dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka
lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan
sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat
sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).
Pada
tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan
putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal,
meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan
mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan
senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana
menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan
elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang
punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.
Tentu
saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali
setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada
penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang
firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak
dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah
satu daya gerak di balik ghazwah. ?Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz
ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam
perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka
langsung masuk surga? (Allen, 2006, 59).
Setiap
suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau
diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan
bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan
membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang
bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773,
tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia
wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah
Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di
Utara.
Serangan
ke Karbala, Mekkah, dan Madinah
Pada
tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang
Karbala ? tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu
Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan
mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang ? seperlimanya menjadi bagian
Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali
bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala
dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan
daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II,
kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada
tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka
membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan
perabotan yang mahal dan indah ? yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran
dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah
dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram ? dicuri dan dibagi-bagi. Pada
1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena
mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji
ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi
dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd
al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar
amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang
di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang
memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di
Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai
1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi
Konstantinopel
Dominasi
Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah
di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi
gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi
tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada
Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan
kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun
1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini
pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim
Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan
kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam
keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di
akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut
Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud
di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim
Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan
ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia
memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran
mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan
pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata
pengelana William Palgrave, ?menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.?
Abdullah
ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke
Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia
dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga
hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan
yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran
Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi
bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, ?Ia
mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang
Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh
Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun
1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.? (Allen, 2006: 68).
Demikianlah,
fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I,
berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan
sejak aliansi terbentuk.***
Islam:
“Jalan Baru” Bagi Indonesia yang Lebih Baik
[BULETIN
AL-ISLAM EDISI 378]
Rakyat sudah tidak mempercayai pemimpinnya. Mungkin itulah kalimat
yang pantas untuk menggambarkan kondisi kepemimpinan di Indonesia saat ini,
baik di tingkat pusat maupun daerah; baik terkait dengan pemimpin di jajaran
eksekutif (Pemerintah), legislatif (wakil rakyat/Parlemen) maupun yudikatif
(lembaga peradilan).
Terkait dengan kepercayaan terhadap Pemerintah, baru-baru
ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil penelitiannya yang
menyebutkan, bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintah dalam 3 tahun terakhir
terus-menerus menurun. Pada bulan November 2004, kepuasan publik mencapai 80%,
namun pada bulan Oktober 2007 turun tajam hingga 54%. Sentimen elektoral
terhadap SBY sebanyak 47% pada bulan Oktober 2004, namun pada bulan Oktober
2007 turun menjadi hanya 33%. (Media
Indonesia, 31/10/07).
Lalu terkait dengan kepercayaan terhadap lembaga peradilan,
hasil survey Litbang Media Group menyebutkan bahwa kinerja hakim agung di
Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan (75%), korupsi makin meningkat (54%) dan
peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). (Media Indonesia, 3/10/07).
Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil
rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya para
anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri
dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat
terhadap para wakilnya sangat beralasan. Contoh kecil: di tengah himpitan dan
beban hidup rakyat yang berkepanjangan, DPR justru berencana merenovasi rumah
dinas bagi anggotanya. Dana yang diusulkan pun tidak tanggung-tanggung: 350
miliar rupiah. Padahal pada saat yang sama, berdasarkan catatan Kementerian
Perumahan Rakyat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di
Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa
Pos,
30/10/07).
Para pemimpin negeri ini (baik di pusat maupun di daerah;
baik di jajaran pemerintahan maupun wakil rakyat) juga sering ‘menggadaikan’
kepentingan rakyat. Buktinya adalah disahkannya sejumlah UU—seperti UU SDA
(Sumber Daya Air), UU Listrik (yang kemudian dibatalkan MK), UU Migas, dan
terakhir UU Penanaman Modal—yang dikatakan oleh sejumlah kalangan lebih
berpihak kepada para pemilik modal, termasuk asing, ketimbang kepada rakyat.
Wajar jika pembangunan ekonomi di Indonesia telah berhasil menggusur orang miskin,
bukan menggusur kemiskinan. Inilah buah sistem Kapitalisme. Kesejahteraan
akhirnya hanya milik para pemilik modal. Ekonomi saat ini memunculkan jurang
pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Wakil Presiden Jusuf
Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa
memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (AntaraNews, 23/10/07).
Begitulah kondisi umum kepemimpinan di negeri ini, khususnya
di jajaran eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (parlemen), yang dihasilkan
dari sebuah proses Pemilu 2004 yang konon paling demokratis dalam
sejarah—apalagi Pemilihan Presiden dan Wapresnya pun dilaksanakan secara
langsung—dan menelan biaya triliunan rupiah.
Ironisnya, setelah Pemilu yang konon paling demokratis itu
terbukti tidak menghasilkan pemimpin dan para wakil rakyat yang baik dan
memihak rakyat, sebagaimana dipaparkan di atas, kini KPU yang baru mengajukan
anggaran dana untuk Pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 trilun; kira-kira 10 kali lipat
dari anggaran Pemilu 2004 (Fajar.co.id,
1/11/2007). Andai anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun rumah
sederhana bagi rakyat dengan biaya Rp 20 juta/rumah, tentu akan dapat dibangun
sekitar 2,345,000 buah rumah.
Tentu anggaran sebesar Rp 47,9 triliun itu belum termasuk
biaya Pilkada di setiap daerah yang menghabiskan dana miliaran/puluhan miliar
(tingkat kota/kabupaten) hingga puluhan/ratusan miliar rupiah (tingkat
provinsi). Pemprov Sumsel, misalnya, mengajukan dana sekitar Rp 237 miliar untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumsel yang dijadwalkan
digelar sekitar November 2008.
Adapun dalam Pilkada DKI beberapa bulan lalu, total anggaran yang disetujui
oleh Departemen Dalam Negeri adalah sebesar Rp 148 miliar. (Kompas, 3/4/2007). Padahal, dengan biaya Pilkada
yang mahal itu, pemimpin dan wakil rakyat daerah yang dihasilkan pun sering
tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sudah cukup bukti betapa banyak kepala
daerah dan para wakil rakyatnya di daerah didemo oleh rakyatnya sendiri di
daerah masing-masing.
Barangkali, itulah alasan mengapa sejumlah kalangan muda
mengangkat wacana “saatnya kaum muda memimpin” Pasalnya, menurut mereka, para
pemimpin dari golongan tua telah gagal membangun negeri ini. Pada bulan Oktober
lalu, misalnya, Peringatan Sumpah Pemuda diwarnai dengan desakan agar saat ini
pemerintahan dan kekuasaan dipimpin oleh orang-orang muda. (Seputar-indonesia.com, 30/10/01).
Di sisi lain, krisis multidimensi yang sekian lama mendera
negeri ini dan sampai hari ini gagal diatasi, telah memunculkan keinginan kuat
sejumlah kalangan untuk mengangkat isu tentang perlunya Indonesia mencari
“jalan baru”. “Pemimpin baru yang berkarakter dan bervisi kuat jelas sangat
dibutuhkan. Namun, jika pemimpin baru itu tetap menempuh jalan lama, yaitu
jalan yang telah terbukti gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
selama 40 tahun terakhir ini, rakyat hanya akan kembali dikhianati,” demikian
kata ekonom Rizal Ramli saat deklarasi pembentukan Komite Bangkit Indonesia
yang dipimpinnya di Jakarta, Rabu (31/10) (Kompas,
1/11/07).
Persoalannya sekarang: Apakah dengan dipimpin oleh kaum muda
negeri ini akan menjadi baik? Lalu, jika memang diperlukan adanya “jalan baru”,
“jalan baru” macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk keluar dari krisis
demi krisis yang selama ini mendera negeri ini?
Dua Faktor Penting: Sosok Pemimpin dan Sistem yang Baik
Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang
baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan
tidak membawa cacat bawaan.
Pertama:
Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak
ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau
tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam
Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu
istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan;
di samping harus berakal sehat
(HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam
kekuasan/tekanan pihak lain (Lihat: Kitab Ajhizah
ad-Dawlah al-Khilâfah, hlm. 40. Dikeluarkan oleh Hizbut
Tahrir).
Kedua: Menyangkut
sistem yang baik. Nabi Muhammad saw.
jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia,
jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau
bahkan digelari al-Amin oleh
masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak
mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada
Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia.
Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan
memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang
baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu,
diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu?
Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat yang Mahabaik. Itulah syariah
Islam yang dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), dan
bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekular yang
notabene juga korup. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya
daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]:
50).
Islam: “Jalan Baru” untuk Indonesia
Walhasil, jika untuk keluar dari krisis multidimensi ada
wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru”
itu adalah Islam. Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesia
karena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”. Pasalnya, sistem
pemerintahan/negara yang digunakan di negeri ini selama lebih dari setengah
abad—jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945—adalah jalan selain
Islam, yakni sekularisme yang menggandeng Sosialisme (masa Orde Lama),
Kapitalisme (masa Orde Baru) dan Liberalisme (masa Orde Reformasi). Adapun
“jalan Islam”, yakni sistem pemerintahan/negara yang menerapkan syariah, bukan
saja belum pernah diterapkan, tetapi bahkan selalu berusaha dijauhkan dari sistem
kehidupan. Alasannya mengada-ada: syariah memecah-belah, mengancam pluralitas
(keragaman) dan keutuhan NKRI, dll. Na‘ûdzu
billâh. Padahal bukankah carut-marutnya negeri ini adalah akibat
langsung dari diterapkannya sekularisme di negeri ini selama puluhan tahun
sekaligus dicampakkannya hukum-hukum Allah? Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa
saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti
dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Semoga Allah SWT menyelamatkan umat Islam dan negeri Islam
terbesar ini dari kehancuran. Wallâhu
a‘lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Din: Konsep Indonesia Harus Jelas
Sebagai Negara Agama atau Sekuler (Republika.co.id,
6/11/07).
Tentu,
Indonesia harus menjadi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam
seluruh aspek kehidupan.
BACA JUGA :
RAHASIA DIBALIK SHOLAWAT NARIYAH
KUMPULAN DOA-DOA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar