Kamis, 19 Januari 2012

INSPIRASI USAHA (PUSAT GROSIR MAINAN MURAH)

Pusat Jual Beli Mainan Murah

Di Pasar Gembrong, Jatinegara, Jakarta Timur, mobil-mobilan bertenaga aki ukuran terbesar dijual hanya Rp 350 ribu. Di mal, barang sejenis harganya mencapai Rp 500 ribu.

Hari menjelang sore, tapi matahari masih terik menyengat tubuh. Puluhan pengunjung hilir mudik keluar masuk lorong pasar. Sesekali mereka memasuki kios, melihat-lihat barang lalu menawar. Tak berapa lama, transaksi pun terjadi. Sebuah mobil-mobilan bertenaga aki ukuran terbesar yang di mal dijual seharga Rp 500 ribu, tapi pembeli asal Bekasi ini bisa membawa pulang untuk putra tercintanya hanya dengan merogoh kocek Rp 350 ribu.

Ya, murah, memang. Kondisi inilah yang membuat pasar ini kian hari bertambah ramai. Pasar yang sekarang terkenal dengan sebutan Pasar Gembrong ini, terletak di sisi sebelah kiri perempatan Jl Basuki Rahmat dengan Jl DI Panjaitan dari arah Kampung Melayu atau sebelah kanan dari arah Cawang. Padahal, pasar ini hanya berawal dari satu kios milik H Bahruddin (55).

Awal 1999, H Bahruddin dan istrinya, Hj Kartina (50), berinisiatif mendirikan kios mainan di teras rumahnya. Saat itu, yang dijual hanya mainan anak-anak yang sederhana, seperti mainan berukuran kecil dari kertas dan plastik. Jumlah item barangnya juga masih terbatas, akibatnya pembeli jarang mampir.

Sebagai perintis, H Bahruddin yang pensiunan pegawai Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta tahun 1992 ini, merasakan betul pahit getirnya mengembangkan bisnis mainan di kawasan yang berdekatan dengan Pasar Prumpung, Jakarta Timur itu. Meski awalnya hanya untuk membantu menyediakan lapangan kerja bagi puluhan remaja putus sekolah di lingkungannya, tapi pebisnis berputra delapan ini akhirnya harus total mengurus bisnisnya.

Dengan modal sekitar Rp 5 juta, tahun 2001 ia mulai membeli beberapa jenis mainan di Pasar Tanah Abang untuk melengkapi koleksi dagangan sebelumnya. Setelah berjalan beberapa tahun, bisnisnya tetap stagnan. ”Orang sama sekali belum mengenal jika di Pasar Gembrong ada yang jual mainan anak-anak yang melayani grosir dan eceran. Satu hari laku satu item saja, sudah seneng,” ujar Bahruddin mengenang.

Melalui strategi dari mulut ke mulut, termasuk bantuan promosi ”ajuran” dari agennya di Pasar Tanah Abang, memasuki tahun 2003 pembeli grosir partai kecil diarahkan untuk membeli di Pasar Gembrong. Memasuki tahun 2004, sebagian besar pedagang mainan di Jabodetabek membeli di Pasar Tanah Abang dan Pasar Gembrong milik H Bahruddin ini.

Perkembangannya sungguh menakjubkan. Masih di tahun yang sama, agen di Pasar Tanah Abang tak sanggup lagi memenuhi permintaan barang dari H Bahruddin. Akhirnya, oleh mitra bisnisnya ini ia diperkenalkan pada distributor, importir dan beberapa pabrik mainan di tanah air. Bermula dari jalinan komunikasi bisnis inilah ia mengalami sebuah lompatan bisnis yang belum pernah diraih sebelumnya.

Pebisnis asal Purwokerto, Jawa Tengah ini, tak hanya bisa membeli barang ke distributor dan pabrik, tapi juga bisa memesan langsung ke luar negeri, khususnya Cina melalui mitra importirnya. Sejak itulah bisnisnya berkembang pesat, melonjak tinggi, melebihi yang ia perkirakan. Pedagang-pedagang besar dari Jabodetabek, Medan, Palembang, Lampung dan hampir semua kota besar di Pulau Jawa memesan barang padanya.

Untuk memenuhi pesanan, antara 2004–2006 ia mengimpor mainan asal Cina dua kontainer per bulan. Tiap datang satu kontainer, barang langsung ludes diborong pedagang besar dari berbagai daerah itu. Seiring dengan kesuksesannya, tetangga kiri kanannya mulai melirik usaha yang sama. ”Awalnya hanya satu dua yang mengikuti jejak saya. Sekarang lebih dari 25 kios berdiri di sini. Semuanya jualan mainan,” tarangnya.

Menurut Bahruddin, hampir semua pedagang yang mengikuti jejaknya ini, awalnya mengambil barang dari dirinya. Kini, kondisinya sudah berubah. Sebagian besar sudah membeli langsung ke distributor lain atau pabrik. ”Untuk impor, mereka belum sangggup. Di Pasar ini baru saya yang bisa impor langsung,” tegasnya. Tapi, sebagian besar agen di luar kota, umumnya juga sudah memesan langsung ke importir dan pabrik.

Akibatnya, sepanjang 2007 ini, penjualannya turun drastis. Kini, ia juga hanya bisa impor satu kali dalam sebulan. Itulah bisnis, ketika persaingan makin ketat dan jaringan komunikasi bisnis terbuka lebar, tak bisa lagi segelintir pedagang memonopolinya. Rantai perjalanan barang pun makin pendek, sehingga harga pun bertambah murah.

Meski begitu, saat ini H Bahruddin mengaku masih bisa meraih omset Rp 400 juta per bulan. Item barang yang dimilikinya lebih dari 460 jenis dengan jumlah karyawan 12 orang. Antara 2004–2006, omset penjualannya mencapai Rp 600–800 juta per bulan dengan dukungan karyawan 22 orang.

Roda bisnis terus berputar. Kini giliran pebisnis lain yang merangkak naik. Akhmad Ridwan (27), pemilik kios Lidia Jaya adalah salah satu di antaranya. Ia mulai membuka kios mainan di Pasar Gembrong awal 2006. Mantan karyawan sebuah perusahaan Video Shooting ini mengeluarkan modal sekitar Rp 35 juta untuk membeli 15 item barang dan Rp 1,6 juta untuk sewa kios per tahun.

Meski mengatakan terlambat membuka kios di kawasan ini, tapi alumnus SMA 36 Jakarta Timur itu mengaku, bisnisnya sekarang sudah balik modal alias break event point. Padahal, sebagian besar barangnya hanya dijual eceran, meski ia mengaku sanggup menyediakan barang grosiran untuk item tertentu.

Memang, semua barang yang dijual harganya jauh lebih murah dibanding harga di mal atau pusat perbelanjaan modern lainnya. Mobil-mobilan bertenaga aki ukuran terbesar dijual hanya Rp 350 ribu. Di mal bisa mencapai Rp 500–550 ribu. Trak Tamiya dijual hanya Rp 135 ribu untuk satu jalur dan Rp 200 ribu untuk dua jalur. Di mal bisa mencapai Rp 350–400 ribu dan Rp 550–600 ribu. Ia pun sanggup meraup omset sekitar Rp 7 juta per bulan.

Meski berbisnis dalam kios kecil ukuran 2x3 meter, ia sudah sanggup menggaji satu karyawan. Ia juga berkeyakinan bisa mengembangkan bisnis ini. ”Tahun depan, minimal saya bisa meningkatkan statusnya menjadi agen atau distributor. Saya sudah punya hubungan dengan importir dan pabrik, tapi masih terkendala modal,” ujarnya.

Bisnis mainan anak-anak memang menjanjikan. Dunia anak adalah dunia bermain, sehingga bisnis ini tak akan lekang ditelan zaman. Sayangnya, menurut H Bahruddin dan Akhmad Ridwan, 90 persen produk mainan anak-anak yang beredar di pasar adalah karya bangsa lain, impor dari Cina. Pabrik di dalam negeri yang ada di Tangerang, Kapuk Jakarta Utara dan Surabaya hanya sanggup memasok 10 persen permintaan pasar. Ironis, memang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar