Kamis, 26 November 2009

SEJARAH KHALIFAH USMANIAH



Aliansi Wahabi & Dinasti Al-Saud I
 
Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi
Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia
Oleh: Syamsurizal Panggabean
Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd
Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil ? paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.
Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka ? dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan ? tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.
Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.
Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.
Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud
Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.
Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ?Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmu. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.? Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ?Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.? (Al-Rasheed, 2002: 17).
Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam ? dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).
Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.
Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir ? biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).
Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).
Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.
Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. ?Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga? (Allen, 2006, 59).
Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.
Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah
Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala ? tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang ? seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah ? yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram ? dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ?menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.?
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, ?Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.? (Allen, 2006: 68).
Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***
Islam: “Jalan Baru” Bagi Indonesia yang Lebih Baik
[BULETIN AL-ISLAM EDISI 378]
Rakyat sudah tidak mempercayai pemimpinnya. Mungkin itulah kalimat yang pantas untuk menggambarkan kondisi kepemimpinan di Indonesia saat ini, baik di tingkat pusat maupun daerah; baik terkait dengan pemimpin di jajaran eksekutif (Pemerintah), legislatif (wakil rakyat/Parlemen) maupun yudikatif (lembaga peradilan).
Terkait dengan kepercayaan terhadap Pemerintah, baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil penelitiannya yang menyebutkan, bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus-menerus menurun. Pada bulan November 2004, kepuasan publik mencapai 80%, namun pada bulan Oktober 2007 turun tajam hingga 54%. Sentimen elektoral terhadap SBY sebanyak 47% pada bulan Oktober 2004, namun pada bulan Oktober 2007 turun menjadi hanya 33%. (Media Indonesia, 31/10/07).
Lalu terkait dengan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, hasil survey Litbang Media Group menyebutkan bahwa kinerja hakim agung di Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan (75%), korupsi makin meningkat (54%) dan peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). (Media Indonesia, 3/10/07).
Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya para anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat terhadap para wakilnya sangat beralasan. Contoh kecil: di tengah himpitan dan beban hidup rakyat yang berkepanjangan, DPR justru berencana merenovasi rumah dinas bagi anggotanya. Dana yang diusulkan pun tidak tanggung-tanggung: 350 miliar rupiah. Padahal pada saat yang sama, berdasarkan catatan Kementerian Perumahan Rakyat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07).
Para pemimpin negeri ini (baik di pusat maupun di daerah; baik di jajaran pemerintahan maupun wakil rakyat) juga sering ‘menggadaikan’ kepentingan rakyat. Buktinya adalah disahkannya sejumlah UU—seperti UU SDA (Sumber Daya Air), UU Listrik (yang kemudian dibatalkan MK), UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal—yang dikatakan oleh sejumlah kalangan lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk asing, ketimbang kepada rakyat. Wajar jika pembangunan ekonomi di Indonesia telah berhasil menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Inilah buah sistem Kapitalisme. Kesejahteraan akhirnya hanya milik para pemilik modal. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (AntaraNews, 23/10/07).
Begitulah kondisi umum kepemimpinan di negeri ini, khususnya di jajaran eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (parlemen), yang dihasilkan dari sebuah proses Pemilu 2004 yang konon paling demokratis dalam sejarah—apalagi Pemilihan Presiden dan Wapresnya pun dilaksanakan secara langsung—dan menelan biaya triliunan rupiah.
Ironisnya, setelah Pemilu yang konon paling demokratis itu terbukti tidak menghasilkan pemimpin dan para wakil rakyat yang baik dan memihak rakyat, sebagaimana dipaparkan di atas, kini KPU yang baru mengajukan anggaran dana untuk Pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 trilun; kira-kira 10 kali lipat dari anggaran Pemilu 2004 (Fajar.co.id, 1/11/2007). Andai anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun rumah sederhana bagi rakyat dengan biaya Rp 20 juta/rumah, tentu akan dapat dibangun sekitar 2,345,000 buah rumah.
Tentu anggaran sebesar Rp 47,9 triliun itu belum termasuk biaya Pilkada di setiap daerah yang menghabiskan dana miliaran/puluhan miliar (tingkat kota/kabupaten) hingga puluhan/ratusan miliar rupiah (tingkat provinsi). Pemprov Sumsel, misalnya, mengajukan dana sekitar Rp 237 miliar untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumsel yang dijadwalkan digelar sekitar November 2008. Adapun dalam Pilkada DKI beberapa bulan lalu, total anggaran yang disetujui oleh Departemen Dalam Negeri adalah sebesar Rp 148 miliar. (Kompas, 3/4/2007). Padahal, dengan biaya Pilkada yang mahal itu, pemimpin dan wakil rakyat daerah yang dihasilkan pun sering tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sudah cukup bukti betapa banyak kepala daerah dan para wakil rakyatnya di daerah didemo oleh rakyatnya sendiri di daerah masing-masing.
Barangkali, itulah alasan mengapa sejumlah kalangan muda mengangkat wacana “saatnya kaum muda memimpin” Pasalnya, menurut mereka, para pemimpin dari golongan tua telah gagal membangun negeri ini. Pada bulan Oktober lalu, misalnya, Peringatan Sumpah Pemuda diwarnai dengan desakan agar saat ini pemerintahan dan kekuasaan dipimpin oleh orang-orang muda. (Seputar-indonesia.com, 30/10/01).
Di sisi lain, krisis multidimensi yang sekian lama mendera negeri ini dan sampai hari ini gagal diatasi, telah memunculkan keinginan kuat sejumlah kalangan untuk mengangkat isu tentang perlunya Indonesia mencari “jalan baru”. “Pemimpin baru yang berkarakter dan bervisi kuat jelas sangat dibutuhkan. Namun, jika pemimpin baru itu tetap menempuh jalan lama, yaitu jalan yang telah terbukti gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat selama 40 tahun terakhir ini, rakyat hanya akan kembali dikhianati,” demikian kata ekonom Rizal Ramli saat deklarasi pembentukan Komite Bangkit Indonesia yang dipimpinnya di Jakarta, Rabu (31/10) (Kompas, 1/11/07).
Persoalannya sekarang: Apakah dengan dipimpin oleh kaum muda negeri ini akan menjadi baik? Lalu, jika memang diperlukan adanya “jalan baru”, “jalan baru” macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk keluar dari krisis demi krisis yang selama ini mendera negeri ini?

Dua Faktor Penting: Sosok Pemimpin dan Sistem yang Baik
Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan.
Pertama: Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan; di samping harus berakal sehat (HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam kekuasan/tekanan pihak lain (Lihat: Kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, hlm. 40. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir).
Kedua: Menyangkut sistem yang baik. Nabi Muhammad saw. jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari al-Amin oleh masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), dan bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekular yang notabene juga korup. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Islam: “Jalan Baru” untuk Indonesia
Walhasil, jika untuk keluar dari krisis multidimensi ada wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru” itu adalah Islam. Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesia karena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”. Pasalnya, sistem pemerintahan/negara yang digunakan di negeri ini selama lebih dari setengah abad—jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945—adalah jalan selain Islam, yakni sekularisme yang menggandeng Sosialisme (masa Orde Lama), Kapitalisme (masa Orde Baru) dan Liberalisme (masa Orde Reformasi). Adapun “jalan Islam”, yakni sistem pemerintahan/negara yang menerapkan syariah, bukan saja belum pernah diterapkan, tetapi bahkan selalu berusaha dijauhkan dari sistem kehidupan. Alasannya mengada-ada: syariah memecah-belah, mengancam pluralitas (keragaman) dan keutuhan NKRI, dll. Na‘ûdzu billâh. Padahal bukankah carut-marutnya negeri ini adalah akibat langsung dari diterapkannya sekularisme di negeri ini selama puluhan tahun sekaligus dicampakkannya hukum-hukum Allah? Mahabenar Allah SWT yang berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Semoga Allah SWT menyelamatkan umat Islam dan negeri Islam terbesar ini dari kehancuran. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Din: Konsep Indonesia Harus Jelas Sebagai Negara Agama atau Sekuler (Republika.co.id, 6/11/07).
Tentu, Indonesia harus menjadi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.


BACA JUGA :
RAHASIA DIBALIK SHOLAWAT NARIYAH
KUMPULAN DOA-DOA

KUMPULAN DOA-DOA


Doa Memohon Dikasihani Bila Diambil Nyawanya dan Dipelihara Jika Dihidupkan Kembali

بِاسْمِكَ رَبِّي وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَْرْفَعَُهُ فَإِن أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْْ سَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحيْنَ

BISMIKA RABBII WA DHA’TU JAMBII, WA BIKA ARFA’UH, FA IN AMSAKTA NAFSII FARHAMHAA, WA IN ARSALTAHAA FAHFAZHHAA, BIMAA TAHFAZHU BIHII ‘IBAADAKASH SHAALIHIIN.
Artinya: “Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku, aku baringkan lambungku; dan dengan menyebut nama-Mu, aku angkat lambungku. Jika Engkau ambil nyawaku, kasihanilah dia; dan jika Engkau lepaskan, peliharalah dia dengan cara yang Engkau lakukan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa Memohon Dipelihara dari Siksa Neraka

(اَللّهُمَّ قِنِيْ عَدَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ (3

ALLAHUMMA QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBAADAK. (3X)
Artinya: “Ya Allah, peliharalah diriku dari siksa-Mu pada saat Engkau bangkitkan hamba-hamba-Mu.” (3X) (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Doa Memohon Dimatikan dan Dihidupkan sebagai Muslim

بِاسْمِكَ اللّهُمَّ اَمُوتُ وَأَحْيَا

BISMIKA ALLAAHUMMA AMUUTU WA AHYAA.
Artinya: “Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku, aku mati dan aku hidup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa Memohon Dicukupi dan Dilindungi

…اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي اَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا

ALHAMDU LILLAAHIL LADZII ATH’AMANAA WA SAQAANAA, WA KAFAANAA, WA AAWAANAA,…
Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memberi makan dan minum kepada kami, mencukupkan, dan memberi perlindungan kepada kami,…” (HR. Muslim)
Doa Apabila Susah Tidur

اللّهُمَّ غََارَتِ النَُّّجُومُ وَهَدَأتِ الْعُيُونُ وَأَنتَ حَيٌّ قَيُّْومٌ لاَّ تَأْخُذُكَ سِنَةٌ وََّلاَ نَوْمٌ يَاحَيُّ يَاقَيُّْمُ أَهْدِيْ لَيْلِي وَأَنِمْ عَيْنِي

ALLAHUMMA GHAARATIN NUJUUMU WA HADA’ATIL ‘UYUUNU WA ANTA HAYYUN QAYYUUMUL LAA TA’KHUDZUKA SINATUW WA LAA NAUUM, YAA HAYYU YAA QAYYUUMU AHDI’LAILII, WA ANIM ‘AINII.
Artinya: “Ya Allah, bintang-bintang tenggelam dan semua mata tertidur lelap, sedangkan Engkau Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Mu, Engkau tidak pernah terkena kantuk dan tidak pula tidur. Wahai Yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk, tenangkanlah malamku dan pejamkanlah mataku.” (HR. Ibnu Sunni)
Doa ketika Terbangun karena Terkejut

أَعُوْذُبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقاَ بِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَ أَنْ يَّخْضَُرُونِ

A’UUDZU BI KALIMAATILLAAHIT TAAMMAATI MIN GHADHABIHII WA ‘IQAABIH, WA SYARRI ‘IBAADIH, WA MIN HAMAZAATISY SYAYAATHIINI WA AY YAHDHURUUN.
Artinya: “Aku berlindung (kepada Allah) dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murka dan siksa-Nya, dan hembusan-hembusan setan, agar mereka tidak menyentuhku.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Doa ketika Bermimpi Buruk

أَعُوْذُبِ اللهِ مِنَ الشَّيَاطِيْنِ وَ مِنْ شَرِّ مَا رَآى

A’UUDZU BILLAAHI MINASY SYAITHAANI WA MIN SYARRI MAA RA’AA.
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari setan dan dari segala hal yang tidak baik dalam mimpi.” (HR. Muslim)
Doa Memohon Dihidupkan kembali dalam Keadaan Baik

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

ALHAMDU LILLAHIL LADZII AHYAANAA BA’DA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN NUSYUUR.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami; dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa Memohon Diberi Kesehatan dan Dibantu untuk Mengingat-Nya

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي عَافَانِي فِي جَسَدِي وَ رَدََّ عَلَيَّ رُوْحِِي وَ أَذِنَ لِي بِذِكَْرِهِ

ALHAMDU LILLAHIL LADZII ‘AAFAANII FII JASADII, WA RADDA ‘ALAYYA RUUHII, WA ADZINA LII BI DZIKRIHI.
Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang memberikan kesehatan pada tubuhku, mengembalikan ruhku kepada diriku, dan mengizinkan aku untuk menginginkan-Nya.”(HR. Tirmidzi)
Doa Memakai Pakaian

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا (الثَّوبَ) وَرَزَقْنِيهِ مِنْ غَيْرِ تَوْلٍ مِنِّي وََلاَ قُوَّةٍ

ALHAMDU LILLAAHIL LADZII KASAANII HAADZATS TSAUBA WA RAZAQNIIHI MIN GHAIRI HAULIM MINNII WA LAA QUWWAH.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah mengenakan pakaian ini kepadaku dan mengaruniakannya kepadaku, padahal diriku tidak mempunyai daya dan kekuatan.”(HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Doa Memakai Pakaian Baru

اللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَ لُكَ مِنْ خَيْرٍهِ وَخَيْرٍ مَا صُنِعَ لَهُ وََ أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَ شَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ

ALLAHUMMA LAKAL HAMDU ANTA KASAUTANIIH, AS’ALUKA MIN KHAIRIHII WA KHAIRI MAA SHUNI’A LAH, WA A’UUDZU BIKA MIN SYARRIHII WA SYARRI MAA SHUNI’A LAH.
Artinya: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Engkau lah yang mengenakan pakaian ini kepadaku. Aku memohon kepada-Mu kebaikan dari pakaian ini dan kebaikan pemakaiannya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pakaian ini dan semua keburukan pemakaiannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Doa Melepaskan Pakaian

بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ

BISMILLAAHIL LADZII LAA ILAAHA ILLAA HUWA.
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.” (HR. Ibnu Sunni)


BACA JUGA :
DOA AWAL DAN AKHIR TAHUN HIJRIYAH
DOA MALAIKAT JIBRIL DIKALA RAMADHAN
DOA PERINTAH DAN LARANGAN
DOA TAHUN BARU HIJRIYAH
DOA DOA
DOA DIMUDAHKAN MEMBAYAR HUTANG DOA DAN AMALAN DIMUDAHKAN MENDAPATKAN REJEKI DOA DAN AMALAN DIMUDAHKAN MENDAPATKAN REJEKI